Jakarta (ANTARA) - Gencatan senjata yang telah dicapai antara Palestina dan Israel, setelah 11 hari pertempuran di Gaza, dianggap masih rapuh.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Abeer Z Barakat, seorang dosen di University College of Applied Science di Jalur Gaza, dalam diskusi virtual tentang Palestina yang diselenggarakan Universitas Islam Indonesia pada Sabtu.
“Kami tahu bahwa gencatan senjata ini rapuh. Pada hari pertama pelaksanaan gencatan senjata, pasukan pendudukan Israel kembali menargetkan jamaah di Masjid Al Aqsa,” kata aktivis Palestina tersebut.
Secara umum, menurut Abeer, warga Palestina tidak lagi memercayai Israel karena negara penjajah itu tidak mematuhi perjanjian internasional, resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, ataupun berbagai kesepakatan yang telah dicapai untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan antara kedua negara itu.
Karena itu meskipun gencatan senjata sudah diumumkan, Abeer menyatakan warga Palestina tahu bahwa setiap saat Israel bisa kembali melakukan pengeboman di Gaza.
“Kami sama sekali tidak aman. Kami tidak tahu kapan perang berikutnya akan datang,” ujar dia.
Pandangan yang sama tentang gencatan senjata terbaru Palestina-Israel juga disampaikan oleh Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI Bagus Hendraning Kobarsyih. Ia merujuk pada bentrokan antara aparat Israel dan jamaah Muslim di Al Aqsa.
Bentrokan itu meletus setelah shalat Jumat (21/5), hanya hitungan jam sejak gencatan senjata dimulai pukul 02.00 waktu setempat.
Sedikitnya 20 warga Palestina terluka akibat bentrokan, yang dipicu demonstrasi untuk mendukung orang-orang Palestina di Jalur Gaza. Pasukan Israel berusaha membubarkan massa dengan menembakkan granat kejut ke arah para demonstran.
“Memang masih rapuh gencatan senjata itu, tetapi tetap harus kita sambut sebagai salah satu cara untuk membuka jalan masuk bagi bantuan kemanusiaan,” ujar Bagus.
Pentingnya akses masuk untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan sebelumnya ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam sesi debat Majelis Umum PBB yang khusus membahas situasi Palestina pada Kamis (20/5).
Pasalnya, serangan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan 232 orang --termasuk 65 anak-anak dan 39 perempuan, serta menyebabkan lebih dari 1.900 orang terluka dan sekitar 10.000 orang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka.
“Bantuan kemanusiaan sangat diperlukan saat ini karena akses air, gas, listrik terputus. Jalan-jalan rusak, sekolah dan rumah sakit hancur --ini jadi satu keprihatinan tersendiri,” tutur Bagus.
Selain menyoroti akses bantuan kemanusiaan, Indonesia juga mendorong Palestina dan Israel untuk kembali ke meja perundingan demi mewujudkan perdamaian yang langgeng.
Gencatan senjata Palestina-Israel dinilai masih rapuh
Sabtu, 22 Mei 2021 15:51 WIB