Kualasimpang (ANTARA Aceh) - Wajahnya kelihatan pucat, sorot mata yang tajam dan nanar, mengingatkan siapapun yang memandangnya akan berpaling, karena terlihat sangar dan seakan ingin menerkam.
Aziz, begitu namanya. Lelaki kekar tanpa baju ini berusia 19 tahun. Dia salah satu remaja korban pasung orang tuanya, termangu di sudut dinding bilik kayu berukuran 2x2 meter miliknya.
Dia anak yang cerdas di sekolah, namun hari ini sembilan tahun silam, dia menjadi bulan-bulanan tamparan gurunya, tak tahu pasti apa penyebabnya. Mendapat perlakuan kasar, akhirnya Aziz menjadi anak pemurung dan malas bicara.
Dan pada akhirnya, Aziz menjauh dari peradaban pertemanan, komunikasi antara dirinya dan orang tuapun terputus. Males sekolah, tidak bicara, dia hanya bergeming tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya saat dialoq dengan ibunya.
Keluarga Aziz, ada perasaan malu dan pasrah pada keadaan yang memojokkan dirinya dari lingkungan. Saat keluar dia kerap mendapat perlakuan tak baik, dikata-katain, "Aziz ka pungo" (Aziz sudah gila).
Perlakuan ini membuat dia semakin tertekan, depresi berat menggelayut dibenaknya, tak tahu apa yang dilakukanya, alam bawah sadar menguasai dia. Bagai terombang ambing, antara sadar dan tidak.
Akhirnya, kedua orang tua Aziz memutuskan untuk memasung dirinya dengan rantai sepanjang 2,5 meter yang ujung-ujungnya dibuat layaknya seperti borgol lengkap dengan gembok mengikat kuat dikaki kirinya di sebuah kamar pengap.
Sepuluh tahun, Aziz berkutat, bergelut dengan bau amis dirinya. Hanya sendiri, ditemani dipan terbuat dari kayu dan bambu yang dipaku jarang-jarang sebagai alas tidur. Kencing, buang air besar saat malam dilakoninya diatas dipan yang didesain khusus itu.
Tidak sendiri lagi
Tapi, hari ini Aziz tidak sendiri lagi, ada Lia Imelda Saragih, dokter teladan se Indonesia yang juga mantan Direktur RSUD Kabupaten Aceh Tamiang, selama 9 hari berada di suatu desa di Kabupaten Aceh Utara yang menangani secara intensif traumahilling atas diri Aziz.
Pekerjaan kemanusiaan ini kerap dilakukan Lia tanpa pamrih, dia rela jauh dari suami dan dua anaknya. Aktifis kemanusiaan ini melekat dijiwanya, supel, murah senyum dan smart. Itu potret diri seorang Lia.
"Masih ada sejuta Aziz yang menginginkan perlakuan secara psikis, anak pintar yang down akibat perlakuan lingkungan hingga menjurus ke depresi berat. Saya ikhlas membantu menyembuhkan Aziz," ujar Lia dalam satu wawancara khusus dengan aceh.antaranews.com.
Traumahilling terus dilakukan Lia, hari pertama, kedua dan seterusnya menampakkan hasil yang menggembirakan, kini Aziz sudah bisa tersenyum, meski bicaranya masih terbata-bata, lidahnya kelu, karena 10 tahun tidak pernah berucap.
Berbagai asessemen dilakoni Lia, sebelum dirinya memberikan yang terbaik buat penyembuhan Aziz. Dan formula itu diperolehnya, hasilnya, Aziz sudah mau diajak keluar, berkomunikasi dengan alam dan lingkungan sekitar Aziz.
Karena ketidakmampuan, Lia membuat suatu jaringan kasih, dengan program "Apel Untuk Aziz". Tema ini diupload ke facebook, hasilnya tak disangka-sangka, Aziz mendapat respon dan mendapat bantuan dari donatur yang tidak mengikat.
Hingga Jumat (17/6) pukul 18.00 WIB sudah terkumpul Rp87 juta bagi kepentingan rehabilitasi Aziz, dan memperbaiki rumahnya.
Aziz sumringah, terpancar diwajahnya bagai terlepas dari jeratan hukum maha berat, saat divonis bebas tak bersyarat. Itulah Lia, sang lokomotif traumahilling tanpa pamrih bagi Aziz.
Gebrakkan Lia membuat Pemkab Aceh Utara bagai dicemeti, merasa gagu dan membigu, akhirnya melalui dinas kesehatan setempat ikut berpartisipasi menangani Aziz.
Tak tanggung-tanggung, melihat kondisi Aziz, seorang psikolog Jakarta, Yulfa Islaini, S.Psi yang saat ini sedang berkonsentrasi mengambil S2 MPP itu mengatakan, pengobatan efektik harus dimulai dari keluarga dan lingkungan, sebaik apapun obat yang diberikan, tanpa ditunjang sugesti keluarga, maka tidak efektif penyembuhan bagi Aziz.
Yulfa menambahkan, peran serta pemerintah sangat diharapkan, sebagai penyedia sarana teknis, untuk penyembuhan maayarakat yang terimbas depresi, akibat tekanan.
"Aktifitas seorang Lia patut ditauladani, sangat sedikit dokter yang berprilaku seperti itu, sebab kebanyakan berpikir ekonomis dan menyenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan, bravo buat dr Lia", tegas Yulfa mengakhiri.