Banda Aceh (ANTARA) - Pemerhati Lingkungan Aceh TM Zulfikar menyarankan Pemerintah Aceh untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan yang kritis sebagai salah satu solusi mencegah banjir tahunan di tanah rencong.
"Kalau pepohonan tidak direhabilitasi kembali di wilayah kritis, maka kejadian bencana banjir seperti hari ini akan terus berulang terjadi," kata TM Zulfikar, di Banda Aceh, Selasa.
Zulfikar melihat, deforestasi serta degradasi hutan dan lahan di Aceh terus terjadi sepanjang tahun, sehingga masih banyak yang dalam keadaan kritis akibat kurangnya tanaman.
Kondisi kritis hutan dan lahan itu, kata Zulfikar, menjadi penyebab berbagai bencana yang terjadi hari ini di Aceh terutama banjir.
Sebelumnya, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh menyebutkan sedikitnya 251.000 hektare lahan di tanah rencong dalam kondisi kritis.
Kemudian, berdasarkan data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA), luas tutupan hutan di Aceh menyusut, pada 2018 luasnya sekitar 3.004.352 hektare, lalu akhir 2019 berkurang menjadi 2.989.212 hektare.
Berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015, luas kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Aceh berkisar 3.557.928 hektare.
Sebagai langkah awal, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota harus mempelajari terlebih dahulu bagaimana kondisi hulu DAS di wilayah yang sering banjir seperti Alas-Singkil, Tamiang-Langsa, Sungai Jambo Aye yang bermuara sampai ke Aceh Timur hingga DAS Peusangan.
"Ketika kita bicara lahan kritis ada wilayah yang sudah sangat gundul, padahal posisinya di hutan lindung. Seharusnya pohon tetap terjaga, maka pemerintah harus memastikan wilayah ini direhabilitasi hutan dan lahannya," ujarnya.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, lanjut Zulfikar, harus benar-benar dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya melepaskan ke Balai Pengelolaan DAS saja, tetapi juga penting perhatian dari pemerintah provinsi serta kabupaten/kota di Aceh.
"Ini tanggung jawab bersama pemulihan wilayah hutan kita ini. Apalagi tingkat kerusakan hutan terlalu besar dan belum sebanding dengan rehabilitasinya," katanya.
TM Zulfikar menegaskan, jika kawasan kritis Aceh direhabilitasi kembali menjadi hutan kembali, setidaknya saat dilanda hujan deras, air di wilayah hulu tidak langsung mengalir ke sungai, karena sudah pasti diserap oleh pepohonan.
"Karena hutan yang ada pohon saja pun kalau terjadi hujan dengan intensitas bisa juga terjadi banjir. konon lagi tidak ada, pasti begitu cepat terjadi banjirnya," ujar Zulfikar.
Zulfikar menambahkan, banyak titik-titik kritis harus dipetakan oleh pemerintah, dan bisa dipantau dengan memanfaatkan teknologi, setelah didapatkan maka rehabilitasi harus menjadi prioritaskan guna mengatasi banjir di masing-masing daerah yang sudah berlangganan banjir.
"Semuanya harus dilakukan secara bersama mulai dari pihak kementerian di Aceh, pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota, dan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri," demikian TM Zulfikar.