Sementara itu, data dari Dinas Pertanian Aceh Besar menunjukkan sebanyak 1.039 hektare dari 2.732 hektare luas lahan pertanian di Cot Glie, Aceh Besar, terdampak kekeringan pada tahun ini.
Tidak hanya lahan pertanian, Embung Seunekak, penampungan air sekaligus sumber pengairan pertanian di Lamsie, Cot Glie, juga ikut mengering. Sepanjang musim kemarau ini, sedimentasi lumpur di embung seluas 3.000 meter persegi tersebut menyembul terpecah-pecah. Embung tidak berfungsi lagi mengairi sawah petani.
Akibatnya, banyak petani di Lamsie yang berladang di sawah tadah hujan harus memompa air dari sungai untuk mengairi sawahnya agar tidak mengalami puso. Namun, memompa air sungai juga punya masalah lain. Musim kemarau membuat debit air sungai semakin kecil dan hanya bisa menjangkau sawah-sawah di dekat sungai.
Yurdiansyah mengatakan selang pompa air hanya mampu menggapai sawah petani di radius 300 meter dari sungai. Sementara letak sawahnya lebih jauh dan posisinya lebih tinggi dari badan sungai. Ia perlu menyambung selang dan menambah mesin agar air sampai di lahan sawahnya.
Namun, gagal panen dua tahun berturut membuatnya banyak merugi sehingga tidak mampu lagi menggelontorkan uang untuk menambah selang dan mesin pompa.
“Ini sudah banyak utang kepada agen, biasanya nanti dibayar setelah ada hasil. Sekarang ini karena tidak ada hasil, ya, terutanglah,” ujarnya.
Ia menaksir utangnya kepada agen mencapai Rp6 juta. Sebab, untuk mengolah satu petak sawah seluas 2.500 meter memerlukan modal Rp3 juta yang digunakan untuk membayar upah membajak, menanam, memotong, dan membeli pupuk.
Jumlah utangnya diprediksi akan terus membengkak akibat gagal panen tahun ini membuat Yurdiansyah tidak bisa melunasi utang sebelumnya.
“Di sini pola kerjanya seperti itu banyak dikerjakan oleh orang lain. Kalau gagal, sebegitu lah jumlah utang saya,” terangnya.
Baca juga: BMKG sebut Tingkat intensitas karhutla di Aceh masih kategori sedang
Hasil Panen Tak Lagi Bisa Diharapkan, Petani Alih Profesi Jaga Ternak
Gejolak perubahan iklim perlahan mencekik Yurdiansyah. Gagal panen, utang menumpuk, ditambah kenaikan harga bahan pokok, membuat dirinya sebagai tulang punggung keluarga harus bekerja lebih keras untuk mencari sumber penghasilan lain yang dapat menyangga dapur rumah tangga.
Awal tahun ini, setelah menghadapi kenyataan bahwa tidak ada harapan dari hasil panen padi, ia mencoba menanam ubi, kacang panjang, dan timun. Namun, kekeringan yang melanda juga membuat kegiatan menanam sama sekali tidak bisa dilakukan.
Karena itu, Yurdiansyah kini mencari penghasilan dari menjaga ternak sapi. Pekerjaan sampingan yang dilakoni itu juga jauh dari kata cukup. Upah tidak didapatkan per bulan lantaran menggunakan sistem pengupahan bagi hasil.
Misalnya, apabila ternak yang dijaga seekor sapi dengan harga beli Rp10 juta. Setahun kemudian jika ternak sapi tersebut dijual dan laku sebesar Rp15 juta, keuntungan yang didapat nantinya dibagi dua yang berarti masing-masing mendapat Rp5 juta saja.
“Jumlahnya tidak banyak, kalau diperhitungkan per hari dari hasil pelihara sapi milik orang cuma dapat Rp5 ribu. Itu sudah paling banyak,” katanya.
Belum lagi tanggung jawab dari pekerjaan itu sangat berat dan membutuhkan waktu yang lama agar dapat menghasilkan.
“Lama memang, apalagi kalau ternak yang dijaga lembu betina, harus menunggu anaknya lebih besar lagi,” imbuhnya.
Di tengah krisis ini, dirinya sangat berharap perhatian dan uluran bantuan dari pemerintah untuk mencari jalan keluar dari kegagalan panen yang dialami banyak petani.
“Pemerintah lihatlah kondisi kami apa yang kami alami, bantulah kami terutama untuk memastikan ketersediaan air,” asa Yurdiansyah.
Nestapa Petani Kala Anomali Iklim: Gagal Panen Suburkan Utang
Kamis, 29 Februari 2024 19:54 WIB