Riset yang dilakukan oleh Dosen Teknik Kimia di Universitas Syiah Kuala itu pada 2022 menunjukkan rata-rata suhu di Aceh Besar sejak 1992-2020 meningkat mencapai 1,9 Celcius.
Pada periode pertama 1992-2000 suhu yang tercatat mencapai 26,5 Celcius, periode kedua 2001-2010 naik menjadi 26,9 Celcius. Selanjutnya, periode ketiga 2011-2020 angkanya naik lagi menjadi 28,4 Celcius.
Peningkatan suhu tersebut kemudian menyebabkan rata-rata curah hujan di Aceh Besar selama 30 tahun terakhir (1990-2020) juga meningkat mencapai 593 mm per tahun. Angkanya naik setiap satu dekade.
Pada periode pertama yakni 1990-2010, rata-rata curah hujan di Aceh Besar berkisar 1.000-2000 mm per tahun. Kemudian, meningkat pada periode kedua 2010-2020 menjadi 2.000-3.000 mm per tahun.
Ia menjelaskan perubahan curah hujan ini membuat jadwal tanam pasti akan bergeser sehingga tidak bisa lagi memakai pengetahuan yang lama. Jika jadwal tanam tidak disesuaikan, akibatnya lahan persawahan akan kering kerontang di musim tanam dan menyebabkan gagal panen.
“Harus dipelajari kembali pergeseran jadwal tanam, tidak bisa mengikuti schedule yang lama karena pergeseran musim. Tapi, problem yang paling serius cuaca juga lebih sulit diprediksi. Contoh sekarang saat panas luar biasa, tetapi tiba-tiba hujan,” katanya.
Selain itu, riset Suraiya juga menemukan terjadinya perubahan tipe iklim di Aceh Besar yang dilihat berdasarkan klasifikasi tipe iklim Oldeman. Periode pertama 1990-2000 tipe iklim E2 yang berarti jumlah bulan basah berturut-turut kurang dari 3 bulan dan jumlah kering 2-4 bulan.
Periode kedua (2001-2010) menjadi E3. Iklim E3 adalah tipe yang memiliki jumlah bulan basah berturut-turut kurang dari 3 bulan dan jumlah kering 5-6 bulan. Kemudian, periode berikutnya 2011-2020 berubah lagi menjadi tipe D2. Tipe iklim D2 memiliki jumlah basah berturut-turut 3-4 bulan sedangkan kering 2-3 bulan.
Dalam tipe iklim Oldeman, musim hujan selama 5 bulan berturut dalam satu tahun dianggap optimal untuk menanam padi satu kali tanam. Masa tanam bisa dilakukan sebanyak dua kali
jika terdapat lebih dari 9 bulan basah.
Namun, jika kurang dari 3 bulan basah berurutan maka kegiatan menanam padi tidak memungkinkan terjadi tanpa irigasi tambahan.
“Untuk tipe E dan D bisa ditingkatkan jika membuat waduk untuk mengairi lahan pertanian. Tetapi, masalahnya sumber airnya sendiri juga mengering,” katanya.
Baca juga: Produksi benih padi di Aceh turun pada semester I 2023, dampak El Nino
Karena itu, ia sekali lagi menegaskan perlindungan hutan harus dilakukan. Beriringan dengan itu, pemerintah juga perlu mengembangkan percepatan adopsi usaha tani yang lebih produktif untuk menghadapi perubahan iklim mulai dari teknologi, pengetahuan masyarakat, memperkuat riset-riset terkait dengan jenis padi yang tahan perubahan iklim dan informasi terbaru tentang adaptasi perubahan iklim.
“Jadi, tidak bisa kalau kering hanya bikin sumur bor. Itu seperti orang sakit kepala dikasih paracetamol. Tidak dicek penyebab sakit kepalanya. Jangan-jangan sakit kepalanya karena maag sehingga yang diobati bukan kepala,” katanya.
Di samping itu, Suraiya menambahkan, Pemerintah Aceh juga harus memikirkan upaya perlindungan lahan pertanian berkelanjutan melihat produksi padi di Aceh yang terus menunjukkan tren menurun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada 2023, produksi padi di Aceh pada 2019 sebanyak 1.714 ton, 2020 sebanyak 1.757 ton, 2021 sebanyak 1.634 ton, 2022 sebanyak 1.509 ton, dan 2023 sebanyak 1.393 ton.
Ia mengusulkan Pemerintah Aceh dapat menuangkan upaya perlindungan lahan pertanian berkelanjutan itu dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) atau membuat aturan secara khusus dalam Qanun.
Sebab, penurunan produktivitas padi tidak hanya imbas El Nino melainkan juga perubahan fungsi lahan pertanian menjadi permukiman penduduk. Dari data BPS, luas persawahan di Aceh Besar pada tahun 2023 mencapai 28.312 hektare. Jumlahnya telah menyusut 2,5 persen dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 29.050 hektare.
“Seharusnya juga ada aturan agar daerah yang ada irigasinya tidak boleh diizinkan untuk pengalihan lahan pertanian apalagi untuk kompleks perumahan,” katanya.
Alternatif Makanan Pokok Selain Beras
Pilihan makanan pokok selain beras menjadi solusi yang harus dipertimbangkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat akan hasil padi yang semakin menyusut kala anomali iklim saat ini terutama pada musim kemarau.
Terlebih lagi, penurunan produktivitas hasil pertanian membuat harga beras terus melonjak naik. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah mulai memperkenalkan kepada masyarakat makanan pokok selain beras.
“Mau-tidak mau itu sudah harus dilakukan oleh pemerintah,” ujar Suraiya.
Suraiya mendesak Pemerintah Aceh segera menggencarkan budidaya menanam sumber makanan pokok lainnya seperti jagung, ubi, singkong, dan janeng. Bahkan, sorgum dapat menjadi pilihan karena jenis tanaman tersebut lebih tahan saat musim kemarau ketimbang padi.
“Misalnya seperti di NTT, di daerah sana masyarakatnya tidak menanam padi karena kondisi iklim yang kering sehingga mereka memilih untuk menanam sorgum sebagai makanan pokok,” katanya.
Tentunya gagasan itu tidak akan mudah diterima oleh masyarakat. Namun, Suraiya optimis apabila keluarga mulai memperkenalkan kepada anak-anaknya sejak dini pilihan-pilihan makanan pokok, perlahan-lahan beras tidak lagi jadi satu-satunya sumber makanan utama.
Tulisan ini merupakan fellowship yang didapatkan Nurul Hasanah dari kegiatan The Environmental Journalist Bootcamp The Conversation Indonesia. Kegiatan tersebut diikuti oleh sepuluh jurnalis muda yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia. Isi konten dan konsekuensi bukan merupakan tanggung jawab redaksi ANTARA
Baca juga: BMKG prediksi cuaca Banda Aceh cerah berawan
Nestapa Petani Kala Anomali Iklim: Gagal Panen Suburkan Utang
Kamis, 29 Februari 2024 19:54 WIB