Banda Aceh (ANTARA) - Elemen masyarakat sipil Aceh menyerahkan sebanyak 161 titik atau situs tempat terjadinya penyiksaan masa konflik Aceh sejak 1989 hingga 2005 kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
"Kami telah mendokumentasikan sekitar 161 titik yang berada di 12 kabupaten/kota se Aceh, dan hari ini kita serahkan kepada KKR," kata Manager Program Asia Justice and Rights (AJAR) Indonesia, Mulki Makmun, di Banda Aceh, Rabu.
Berkas situs penyiksaan masa konflik Aceh tersebut diserahkan oleh AJAR, KontraS Aceh, dan LSM Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA) Aceh, dan diterima langsung Ketua KKR Aceh, Mastur Yahya, di Banda Aceh.
Adapun situs-situs tersebar tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bener Meriah, Aceh Tengah, Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe.
Baca juga: Korban pelanggaran HAM berat kecewa tak bisa gelar doa bersama di Rumoh Geudong
Mulki mengatakan, angka tersebut belum semuanya tercatat, karena pihaknya juga mendapatkan titik yang masih perlu diverifikasi lebih lanjut, dan dimasukkan dalam dokumen rahasia kepada KKR Aceh.
Dalam proses ini, kata dia, pihaknya juga melakukan proses pengecekan ulang dalam konteks ini dari sumber media, hasil riset dan dokumen kelompok masyarakat sipil yang sudah terpublikasi untuk memastikan wilayah yang menjadi lokasi penyiksaan.
"Penyiksaan itu juga tidak hanya fisik, tetapi juga psikis dan mental, dan yang kami temukan juga terjadi penyiksaan seksual baik terhadap perempuan maupun laki-laki," ujarnya.
Dirinya berharap, kepada Pemerintah Aceh, dan terutama KKR Aceh yang sudah memiliki mandat maupun Pemerintah Pusat agar kasus ini benar-benar dapat diselesaikan, dan tidak terulang kembali.
"Kami ingin pengungkapan kebenaran ini menjadi titik landasan pemerintah untuk memperbaiki konteks-konteks upaya yang dilakukan. Bisa jadi dalam interogasi, menangkap terduga pelaku, sehingga ini tidak terjadi lagi kedepannya," kata Mulki.
Sementara itu, Wakil Ketua KontraS Aceh, Fuadi Mardhatillah menyatakan bahwa berdasarkan hasil kunjungan lapangan ke berbagai wilayah Aceh, kebanyakan peristiwa terjadi dalam kurun waktu 1989-2005.
Fuadi menyampaikan, semua yang dilakukan ini merupakan bagian dari upaya pengungkapan kebenaran, di mana semua korban harus direparasi, dengan harapan konflik tidak berulang konflik dan cukup menjadi pembelajaran sejarah.
"KKR Aceh juga bisa menindaklanjuti dan secara lembaga tempat penyiksaan di gedung pemerintah, dan juga ada camp barak yang dibuat di atas lahan warga untuk melakukan penyiksaan," kata Fuadi.
Dalam kesempatan ini, Ketua KKR Aceh, Mastur Yahya menyatakan terkait berkas yang diserahkan elemen sipil tersebut akan diverifikasi kembali ke tempat atau titik dimaksud. Meskipun secara fakta dalam dokumen itu sudah dipastikan lokasinya.
"Tetapi, secara institusi negara di Aceh saat ini adalah KKR yang punya mandat dan tugas, maka tentu kami menindaklanjuti verifikasi, apakah ada korbannya atau tidak disitu," katanya.
Nantinya, lanjut dia, dari verifikasi ulang didapatkan korban yang belum terdata oleh KKR Aceh dalam data 5.000 lebih korban, atau juga mereka sudah masuk didalamnya.
"Bisa jadi juga masih ada korban yang belum terdata, dan KKR Aceh memang mengandalkan data submisi, baik data korban maupun seperti hari ini tentang tempat. Karena tugas kami mengungkapkan kembali kebenaran secara resmi," demikian Mastur Yahya.
Baca juga: Komnas HAM: Pemerintah harus jaga tulang belulang di Rumoh Geudong korban pelanggaran HAM di Aceh