Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendesak revisi peraturan gubernur tentang penanganan sengketa lahan atau konflik tenurial dapat direvisi.
"Pergub penanganan sengketa lahan yang berlaku sekarang tidak mencerminkan semangat penyelesaian konflik. Karena itu pergub perlu direvisi," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad Nur di Banda Aceh, Selasa.
Muhammad Nur menyebutkan penanganan sengketa lahan atau konflik tenurial dalam kawasan hutan tersebut tertuang dalam Pergub Nomor 10 Tahun 2017.
Dia menegaskan, semangat peraturan gubernur tidak terlaksana dengan baik di lapangan. Konflik lahan masih saja terjadi, terutama masyarakat di kawasan hutan dengan perusahaan perkebunan.
Selain itu, peraturan gubernur tersebut menjadi pedoman dinas teknis melakukan ajang bisnis terhadap pengelolaan hasil kehutanan. Dan ini tentu bertolak belakang dengan upaya penyelesaian konflik tenurial.
"Karena itu, kami meminta Gubernur Aceh merevisi peraturan gubernur tersebut. Ada beberapa pasal yang perlu direvisi untuk menghindari penyalahgunaan peraturan gubernur," papar Muhammad Nur.
Pasal yang perlu direvisi, sebut dia, Pasal 13 Ayat (1) huruf d. Pasal itu menyebutkan penyelesaian konflik melalui negosiasi dan mediasi dengan cara di antaranya pada huruf d menyatakan izin lainnya.
Menurut Muhammad Nur, huruf d izin lainnya seharusnya dihapus karena memiliki makna luas dan terkesan bias. Dan ini memberi peluang pemberian izin yang justru membuka ruang untuk disalahgunakan.
"Begitu juga Pasal 13 Ayat (2). Di situ disebutkan pergub hanya berlaku untuk konflik tenurial di atas tahun 2014. Pembatasan ini tentu bertentangan dengan semangat penyelesaian sengketa lahan yang ada," kata dia.
Padahal, sebut Muhammad Nur, banyak konflik tenurial sebelum tahun 2014 belum selesai hingga kini. Konflik-konflik tersebut juga perlu diselesaikan dengan mengacu para peraturan gubernur tersebut.
Begitu juga dengan Pasal 14 Ayat (1), lanjut dia, disebutkan kerja sama pengelolaan kawasan hutan dengan perorangan masyarakat petani antara dinas teknis atau Dinas Kehutanan.
"Seharusnya tidak dengan dinas teknis, tetapi dengan Gubernur. Jika pasal ini tetap dipertahankan, dikhawatirkan ini disalahgunakan juga dengan dalih penyelesaian konflik tenurial," kata Muhammad Nur.