Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Institut Peradaban Aceh (IPA) minta kepada Pemerintah Aceh agar bisa menggarap film layar lebar berlatar belakang tentang semangat Hasan Tiro dalam belajar dan
loyalitas kepada masyarakat Aceh.
Ketua IPA Haekal Afifa kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu menyatakan, keberadaan film tersebut bisa
dijadikan sebagai inspirasi kepada generasi muda untuk terus belajar, bekerja dan membangun kemakmuran rakyat.
"Pengalaman saya berdiskusi tentang Hasan Tiro, ternyata mahasiswa atau masyarakat tidak paham bahwa Hasan Tiro adalah seorang intelektual dengan gelar akademik Ph.D yang diraihnya di Amerika Serikat. Bahkan Hasan Tiro itu sosok sutradara drama alias seniman," ungkap dia.
Haekal menjelaskan, melalui film layar lebar atau Compact Disk (CD), masyarakat dapat memahami spirit Hasan Tiro dalam waktu sekitar 1-2 jam. Sebab disadari, untuk membaca buku biografinya atau puluhan buku pemikirannya membutuhkan waktu berhari-hari, kesulitan menemukan buku tersebut serta belum berkembang maksimal budaya membaca di kalangan masyarakat.
"Kita yang nonton film layar lebar Tjoet Njak Dhien yang diputar pada akhir 1980-an hingga kini ungkapan Tjoet Njak Dhien atau Teuku Umar dan lain-lain masih membekas. Gambar lebih gampang dinikmati dan
disimpan memori dari pada membaca," pinta Haekal.
Disebutkan, agar sejarah penting tentang Bapak Pembaruan Aceh abad ke 20 ini tidak hilang dari kenangan warga, kehadiran film layar lebar dari sisi daya juang untuk kemakmuran rakyat Aceh layak diangkat ke
layar lebar.
"Secara bisnis, film biografi Hasan Tiro mampu menarik penonton yang membludak. Ada sisi-sisi yang hendak diketahui oleh publik baik oleh orang Aceh atau non Aceh. Jika mulai dirintis sekarang, maka pada
2017, film tersebut sudah bisa tayang di bioskop," pinta Haekal yang menerjemahkan buku Atjeh di Mata Donja dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia.
Haekal menuturkan, agar semangat penulis buku Atjeh di Mata Donja ini tidak musnah, perlu langkah cepat mendokumentasi pemikiran-pemikirannya.
Ia menjelaskan gaya hidup Hasan Tiro yang sederhana itu harus dilanjutkan oleh siapa pun termasuk oleh eks Libya yang selama berbulan-bulan dididik oleh Hasan Tiro di barak-barak.
Sekedar diketahui, hingga Wali Neugara meninggal dunia pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh tidak memiliki rumah, kendaraan roda empat dan lain-lain. Hasan Tiro berpulang ke Rahmatullah tidak mewariskan harta benda.
Cara lain merawat ingatan pengikut Hasan Tiro yakni bikin film dokumenter yang berkaitan dengan karya-karya pemikirannya. Dari aspek intelektual, tidak berlebihan masyarakat mengikut kegigihan Hasan Tiro
yang cerdas karena rajin belajar.
Selain itu, dia mahir tujuh bahasa asing seperti Arab, Belanda, Perancis, Swedia, Inggris dan lain-lain.
"Kecintaan kepada rakyat untuk hidup makmur yang menyebabkan dia rela dua tahun lebih bergerilya di hutan Aceh yang dikenal ganas. Padahal bisa saja Hasan Tiro hidup tenang bersama istri dan anak di Amerika tanpa perlu mendidik kader di rimba," kata Haekal.
loyalitas kepada masyarakat Aceh.
Ketua IPA Haekal Afifa kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu menyatakan, keberadaan film tersebut bisa
dijadikan sebagai inspirasi kepada generasi muda untuk terus belajar, bekerja dan membangun kemakmuran rakyat.
"Pengalaman saya berdiskusi tentang Hasan Tiro, ternyata mahasiswa atau masyarakat tidak paham bahwa Hasan Tiro adalah seorang intelektual dengan gelar akademik Ph.D yang diraihnya di Amerika Serikat. Bahkan Hasan Tiro itu sosok sutradara drama alias seniman," ungkap dia.
Haekal menjelaskan, melalui film layar lebar atau Compact Disk (CD), masyarakat dapat memahami spirit Hasan Tiro dalam waktu sekitar 1-2 jam. Sebab disadari, untuk membaca buku biografinya atau puluhan buku pemikirannya membutuhkan waktu berhari-hari, kesulitan menemukan buku tersebut serta belum berkembang maksimal budaya membaca di kalangan masyarakat.
"Kita yang nonton film layar lebar Tjoet Njak Dhien yang diputar pada akhir 1980-an hingga kini ungkapan Tjoet Njak Dhien atau Teuku Umar dan lain-lain masih membekas. Gambar lebih gampang dinikmati dan
disimpan memori dari pada membaca," pinta Haekal.
Disebutkan, agar sejarah penting tentang Bapak Pembaruan Aceh abad ke 20 ini tidak hilang dari kenangan warga, kehadiran film layar lebar dari sisi daya juang untuk kemakmuran rakyat Aceh layak diangkat ke
layar lebar.
"Secara bisnis, film biografi Hasan Tiro mampu menarik penonton yang membludak. Ada sisi-sisi yang hendak diketahui oleh publik baik oleh orang Aceh atau non Aceh. Jika mulai dirintis sekarang, maka pada
2017, film tersebut sudah bisa tayang di bioskop," pinta Haekal yang menerjemahkan buku Atjeh di Mata Donja dari bahasa Aceh ke bahasa Indonesia.
Haekal menuturkan, agar semangat penulis buku Atjeh di Mata Donja ini tidak musnah, perlu langkah cepat mendokumentasi pemikiran-pemikirannya.
Ia menjelaskan gaya hidup Hasan Tiro yang sederhana itu harus dilanjutkan oleh siapa pun termasuk oleh eks Libya yang selama berbulan-bulan dididik oleh Hasan Tiro di barak-barak.
Sekedar diketahui, hingga Wali Neugara meninggal dunia pada 3 Juni 2010 di Banda Aceh tidak memiliki rumah, kendaraan roda empat dan lain-lain. Hasan Tiro berpulang ke Rahmatullah tidak mewariskan harta benda.
Cara lain merawat ingatan pengikut Hasan Tiro yakni bikin film dokumenter yang berkaitan dengan karya-karya pemikirannya. Dari aspek intelektual, tidak berlebihan masyarakat mengikut kegigihan Hasan Tiro
yang cerdas karena rajin belajar.
Selain itu, dia mahir tujuh bahasa asing seperti Arab, Belanda, Perancis, Swedia, Inggris dan lain-lain.
"Kecintaan kepada rakyat untuk hidup makmur yang menyebabkan dia rela dua tahun lebih bergerilya di hutan Aceh yang dikenal ganas. Padahal bisa saja Hasan Tiro hidup tenang bersama istri dan anak di Amerika tanpa perlu mendidik kader di rimba," kata Haekal.