4 Kasus; 10 Terdakwa, 1 Gajah & 5 Harimau
Kepala Kejari Aceh Timur, Lukman Hakim melalui Kepala Seksi Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan (PB3R), Deby Rinaldy mengatakan, sejak 2021 hingga 2024 pihaknya telah menuntut tiga kasus perburuan dan kematian satwa liar dilindungi, baik Gajah Sumatera maupun Harimau Sumatera, serta satu kasus Harimau Sumatera yang saat ini sedang berjalan.
Dalam kasus itu, para pelaku dituntut bervariasi seperti 5 pelaku dalam kasus pembunuhan Gajah Sumatera yang ditemukan tanpa kepala di areal PT Bumi Flora dengan tuntutan masing-masing 54 bulan atau 4 tahun 6 bulan penjara pada tahun 2021. Namun, vonis hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim hanya 3 tahun 6 bulan penjara.
“Barang bukti organ tubuh berupa gading gajah, baik yang telah diolah menjadi aksesoris maupun yang belum, telah diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh,” kata Deby Rinaldy.
Sementara pada 2022, dua terdakwa pemburu babi asal Sumatera Utara atas kasus kematian tiga Harimau Sumatera akibat terjerat dengan hukuman masing-masing 2 tahun enam 6 bulan penjara. Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis 16 bulan penjara dan kembali diperberat oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh menjadi 2 tahun 6 bulan penjara.
“Untuk barang bukti 3 bangkai Harimau langsung di kubur di lokasi karena sudah membusuk. Hanya beberapa helai bulu burung kuau raja dan dua alat penjerat seling/areng dalam keadaan rusak yang hanya dijadikan barang bukti lainnya dalam persidangan,” katanya.
Kemudian pada 2023, Kejari Aceh Timur juga menuntut pembunuh Harimau Sumatera dengan cara menaburkan racun hama ke bangkai kambing yang dimangsa dengan tuntutan 2 tahun 6 bulan penjara. Sedangkan vonis majelis hakim 1 tahun 8 bulan penjara.
"Untuk barang buktinya, dua hari setelah ditemukan mati langsung diambil BKSDA Aceh untuk dimusnahkan dengan cara dibakar dan dikubur. Walaupun saat itu belum diketahui apa penyebab matinya. Yang dibawa polisi sebagai barang bukti dalam persidangan hanya satu kantong plastik berwarna putih yang berisikan racun hama merek curater," kata dia.
Minim Informasi
Pegiat lingkungan hidup dari Yayasan Hutan, Alam dan lingkungan Aceh (HAkA), Nurul Ikhsan mengatakan, sejauh ini pihaknya tidak mendapat informasi yang cukup bagaimana pengelolaan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup Kehutanan (TPLHK) dilaksanakan, terutama setelah ada putusan dari pengadilan, apakah telah sesuai dengan prosedur atau tidak.
Ikhsan menambahkan, banyak informasi yang harus mendapat konfirmasi/penjelasan dari pihak terkait. Misalnya, ada bagian satwa lidung yang diserahkan ke lembaga konservasi yang ‘terpaksa’ kemudian harus dimusnahkan.
Sementara pada amar vonis Pengadilan, barang bukti tersebut tidak untuk dimusnahkan; atau bagaimana kondisi satwa pada masa proses rehabilitasi sebelum dikembalikan ke habitatnya, maka dari itu hal-hal seperti ini publik berhak untuk tau.
“Lembaga konservasi dan atau lembaga terkait lainnya yang diserahkan untuk mengelola barang bukti harus lebih terbuka, termasuk tentang bagaimana kapasitas yang dimilki. Jadi tidak hanya asal terima, sementara fasilitas serta sumber daya tidak mendukung. Kami berharap pengelolaan barang bukti TPLHK harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah dengan menyediakan fasilitas yang memadai termasuk alokasi dana yang cukup mengingat ini adalah aset negara yang penting," katanya.
Baca juga: BKSDA musnahkan bangkai harimau yang mati diduga diracun di kebun warga Aceh Timur
Tanggapan BKSDA
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Ujang Wisnu Barata memberikan tanggapannya terkait teknis dan tata cara pengelolaan barang bukti yang selama ini dilakukan oleh BKSDA Aceh.
Ujang menyebut, segala jenis barang bukti diperlakukan secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU No.5/1990 yang berbunyi: “Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi atau bagian-bagiannya yang dirampas untuk negara, harus dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dari satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan”.
“Segala sesuatu yang menjadi barang rampasan negara, dari berbagai macam bentuk, untuk mengambilnya kita mendapat surat undangan, kemudian dijemput dengan berita acara serah terima kemudian kita bawa ke Balai. Tetapi ada juga yang diserahkan langsung ke BKSDA,” katanya.
Dikatakan dia, dari 51 kasus TPLHK yang terjadi sepanjang 2019-2023 dan diterima BKSDA Aceh, barang bukti dari kasus-kasus tersebut ada yang langsung dimusnahkan setelah mendapat ketetapan hukum. Namun ada juga yang disimpan dengan baik di BKSDA Aceh serta ada juga yang dititip ke sejumlah lembaga seperti sejumlah burung yang dititip ke Taman Rusa Aceh Besar.
Kemudian ada barang bukti berupa Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) yang diditipkan ke Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatera Utara dan kerangka Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) yang diserahkan sebagai bagian edukasi ke Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
“Ada juga beberapa satwa dilindungi yang mati seperti 2 ekor bayi Kucing Kuwuk (Rimung Buloh) yang diamankan di Aceh Besar (2019) dan Owa Siamang yang diamankan di Bireuen (2020). Matinya itu karena luka dan terkena penyakit,” kata Ujang Wisnu Barata. [RM/ZA]
** Tulisan ini hasil liputan kolaboratif wartawan Hayaturrahmah dengan dukungan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh & Forum Jurnalis Lingkungan. Isi konten dan konsekuensi bukan tanggung jawab redaksi ANTARA.
Baca juga: Harimau dilaporkan menyerang ternak warga
Kisah Ayah dan Anak Penjual Kulit Harimau Sumatera
Jumat, 26 April 2024 14:40 WIB