Takengon, Aceh (ANTARA) - Kontrak perdagangan eksportir kopi dari kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah ke sejumlah negara di Eropa dikabarkan melemah, dugaan akibat dari dampak adanya kandungan kimia glyphotsate dalam kopi Arabica Gayo.
Ketua Asosiasi Produser Fairtrade Indonesia (APFI), Armiadi mengatakan para buyer luar negeri saat ini khususnya dari negara-negara Eropa banyak yang menghentikan kontrak atau tidak lagi membuat kontrak baru untuk kerjasama perdagangan dengan para eksportir kopi di Gayo.
"Sekarang kontrak sepi, perdagangan kopi di Gayo sekarang melemah. Karena belum ada komitmen baru antara pedagang dengan buyer tentang panen yang akan datang," katanya, di Aceh Tengah, Jumat.
Menurut dia, kerjasama perdagangan antara eksportir kopi Gayo dengan para buyer biasanya dimulai dengan membuat kesepakatan kontrak setiap tahunnya ketika akan memasuki masa panen kopi di akhir tahun.
"Ini kan biasanya awal kontrak ini. Ini sekarang bulan Oktober, itu awal kontrak sampai panen hingga bulan Juli 2020," katanya.
Armiadi menjelaskan bahwa di Aceh Tengah dan Bener Meriah ada sebanyak 24 koperasi dan 50 eksportir kopi yang selama ini menjalin kontrak kerjasama perdagangan luar negeri.
Kata dia, dampak dari kabar adanya kandungan zat kimia glyphosate pada kopi gayo yang kini telah membuat kalangan eksportir di daerah itu khawatir akan keberlanjutan kerjasama jual beli dengan para buyer.
"Sekarang semua buyer mau menguji terhadap glyphosate ini. Ini kan yang menemukan Nestle. Nestle menemukan itu lalu terpublis di dunia internasional dan semua buyer sekarang menginginkan kopi itu diuji lab (laboratorium)," kata Armiadi.
Dia menuturkan belum lama ini ada sebanyak tujuh kontainer kopi arabica gayo biji hijau yang ditolak oleh buyer dari negara di Eropa, karena disebut mengadung glyphosate di atas ambang batas berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan. Tapi dia tidak menyebutkan negara-negara yang menolak pengiriman kopi gayo tersebut.
"Ada dua kontainer yang begitu sampai ke negara mereka, dibuka lalu mereka masukkan ke lab (laboratorium), hasilnya glyphosate di atas ambang batas. Barang tersebut disuruh dikembalikan ke Indonesia," katanya
Kemudian, kata dia, juga ada lima kontainer lagi yang telah melakukan kontrak. Lalu pihak buyer menyuruh untuk menguji di laboratorium, sebab negaranya mulai mensyaratkan hal demikian.
"Setelah uji lab hasilnya juga di atas ambang batas unsur glyphosate. Jadi yang lima kontainer ini tidak berani lagi dikirim. Karena kalau pun tetap dikirim nanti negaranya akan menguji," katanya.
Menurut dia, saat ini selain adanya kemungkinan terjadinya permainan dagang yang ingin mencoba menjatuhkan harga kopi gayo dengan isu glyphosate tersebut, dan juga kontrol penggunaan kimia di tingkat petani kopi di Gayo juga harus dilakukan lebih intens oleh pemerintah setempat.
"Pemerintah dalam hal ini menerbitkan qanun untuk mengontrol penggunaan pestisida, herbisida, dan insektisida. Bagaimana barang kimia ini tidak boleh masuk, dihentikan oleh pemerintah. Ini hanya pemerintah yang bisa melakukannya," katanya.
Kata Armiadi, solusi utama untuk masalah tersebut sebenarnya ada di petani itu sendiri terkait bagaimana seharusnya para petani memperlakukan kopi. Katanya, petani harus tahu atau menyadari bahwa harga kopi gayo selama ini tinggi, di atas harga kopi dunia, karena organik.
Dia menyayangkan masih banyak petani di Gayo yang beranggapan semua harga kopi sama, walaupun diproses secara organik ataupun non organik. Maka kata dia, para petani harus lebih diberi pemahaman lagi tentang kopi organik yang membuat kopi gayo selama ini dihargai tinggi di pasar dunia.
Hal itu kemudian menyebabkan banyak petani lebih memilih cara pintas dalam proses perawatan kebun kopi mereka, yakni dengan memakai bahan-bahan kimia seperti untuk membasmi rumput di kebun kopi.
"Karena ongkos kerja di Gayo itu mahal. Kalau membersihkan rumput Rp2,5 juta per hektare. Kalau semprot habis sama modalnya paling Rp400 ribu. Jadi mungkin petani ambil alternatif, kebun tidak semak, hasil banyak," katanya.