Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Jumat 26/6 siang cuaca begitu garang, terik mentari sejak sepekan terakhir selama ramadhan ini seakan tak kenal kompromi. Di tengah panas membakar ubun-ubun saya bergegas cepat merapat masjid untuk menunaikan kewajiban jumatan.
Sebelum khatib berkhutbah tiba-tiba kontak black berry messenger (BBM) dari wartawan Waspada di Langsa, Dede juliadi Rendra masuk ke Black Berry saya dengan bunyi; Innalillahi Wainnailaihi Raji’un...telah berpulang ke Rahmatullah orangtua kami Bapak Haji Syahrul Karim, BA wartawan Hr. Waspada Langsa di RSU Adam Malik di Medan pada Pukul 12.30 Wib.
Saya terhuyung. Hati pilu. Cuaca yang terik ini ternyata tak hanya mengeluarkan peluh di dahi saja. Dua bolamata pun menganak sungai dan mengaliri air bening itu. Ditengah kegulanaan dalam duduk ‘itiqaf sembari menunggu naiknya khatib ke atas mimbar khutbah, cepat-cepat mengabari handaitaulan dan semua kenalan terutama kalangan jurnalis baik yang ada di Aceh maupun luar daerah.
Berdasarkan keterangan mantunya, Dede Juliadi Rendra menyebutkan, Ayahanda Syahrul Karim masuk RSUD Langsa pada Kamis Tanggal 6 Juni lalu, karena sesak nafas dan keluhan sakit di perut. Namun, kondisinya yang semakin memburuk akhirnya dibawa ke RSU Adam Malik.
Syahrul Karim sebelumnya sempat dirawat intensif di salah satu rumah sakit ternama di Medan, Sumatera Utara, menyusul sebelumnya menglami kecelakaan akibat tubrukan mobil saat menjalankan tugas jurnalistiknya meliput HUT Bhayangkara pada tahun 2013.
Akibat kecelakaan tersebut, wartawan Waspada senior itu harus menjalani operasi kepala karena benturan keras dengan aspal. Sejak saat itu bersangkutan dinyatan non aktif sebagai wartawan di Hr. Waspada Medan yang sudah mengabdi selama 39 tahun lamanya.
Kendati aktif sebagai PNS, namun Syahrul Karim sangat produktif di dunia jurnalistik. Dia dikenal sangat mencintai dunia kewartawanan. Karenanya dia bergabung di Hr. Waspada sejak tahun 1976, dan beberapa kali meraih predikat wartawan terbaik, wartawan produktif dan wartawan senior serta banyak memeroleh penghargaan di bidang yang satu ini.
Begitupun, Syahrul Karim yang dikenal ramah, supel dan familiar. Syahrul Karim sangat akrab dengan semua kalangan cendekia, akademika, ulama, birokrat, masyarakat di semua kelas. Tak terkecuali, dengan kalangan mahasiswa terutama era reformasi dimana saya pada saat itu acap menjadi kontributornya dalam pergerakan mahasiswa.
Saya pun banyak berguru padanya yang akhirnya turut bergabung di Hr. Waspada sejak 1 Januari 2000. Banyak ilmu yang saya dapatkan darinya, tak sedikit nilai kehidupan ikut ditumpahkan ke saya. Dia tidak hanya sebagai guru jurnalis bagi saya, tak sebatas sebagai senior-junior dan antara seorang ayah dengan anaknya atau sebutan adik dengan abangnya.
Lebih dari itu, Syahrul Karim benar-benar sebagai sahabat yang selalu bisa ditumpahkan segala rasa. Dia kerap saya jadikan sebagai “tong sampah†dan tempat “sumpah serapah†saya manakala terhimpit masalah dan petaka.
“Semestinya Abang kan bisa bilang lebih dulu sehingga saya tidak menjadi terjebak seperti ini,†hardik saya ketika selisih paham terkait pemberitaan perdata pada tahun 2001. Atas sumpah serapah yang macam-macam lainnya itu Bang Syahrul Karim pada saat itu dengan sabarnya menenangkan saya. Dan, dia samasekali tak memuntahkan rasa marah serupa ke saya.
Dia begitu tenang. Dan sejak saat itu pula saya mulai belajar sikologis sedianya upaya mengendalikan emosi dan mengelola konflik termasuk persoalan batin darinya. Ada satu romantika ketika saya menyebutnya “pekerja kemaslahatan makhluk bumiâ€, tapi sebutan itu malah kemudian dia menyematkan ke saya dengan penuh cengengesan canda tawa.
Syahrul Karim lahir 24 Juni 1952 di Peureulak, Aceh Timur, memiliki seorang isteri Afrida. Selama mengayuh biduk rumahtangga bagai tak pernah ada perselisihan baik dengan isteri maupun anak-anaknya yang dicintai sepenuh hati dan jiwa.
Bersama Afrida pula Syahrul Karim menitiskan tujuh orang anak, masing-masing tiga putra dan empat putri. Berikut nama-nama anaknya Villa Safri Dewi, Erika Safri Yani, Karmena Safri Yana dan Lauzana Safrila semuanya.
Sebelum khatib berkhutbah tiba-tiba kontak black berry messenger (BBM) dari wartawan Waspada di Langsa, Dede juliadi Rendra masuk ke Black Berry saya dengan bunyi; Innalillahi Wainnailaihi Raji’un...telah berpulang ke Rahmatullah orangtua kami Bapak Haji Syahrul Karim, BA wartawan Hr. Waspada Langsa di RSU Adam Malik di Medan pada Pukul 12.30 Wib.
Saya terhuyung. Hati pilu. Cuaca yang terik ini ternyata tak hanya mengeluarkan peluh di dahi saja. Dua bolamata pun menganak sungai dan mengaliri air bening itu. Ditengah kegulanaan dalam duduk ‘itiqaf sembari menunggu naiknya khatib ke atas mimbar khutbah, cepat-cepat mengabari handaitaulan dan semua kenalan terutama kalangan jurnalis baik yang ada di Aceh maupun luar daerah.
Berdasarkan keterangan mantunya, Dede Juliadi Rendra menyebutkan, Ayahanda Syahrul Karim masuk RSUD Langsa pada Kamis Tanggal 6 Juni lalu, karena sesak nafas dan keluhan sakit di perut. Namun, kondisinya yang semakin memburuk akhirnya dibawa ke RSU Adam Malik.
Syahrul Karim sebelumnya sempat dirawat intensif di salah satu rumah sakit ternama di Medan, Sumatera Utara, menyusul sebelumnya menglami kecelakaan akibat tubrukan mobil saat menjalankan tugas jurnalistiknya meliput HUT Bhayangkara pada tahun 2013.
Akibat kecelakaan tersebut, wartawan Waspada senior itu harus menjalani operasi kepala karena benturan keras dengan aspal. Sejak saat itu bersangkutan dinyatan non aktif sebagai wartawan di Hr. Waspada Medan yang sudah mengabdi selama 39 tahun lamanya.
Kendati aktif sebagai PNS, namun Syahrul Karim sangat produktif di dunia jurnalistik. Dia dikenal sangat mencintai dunia kewartawanan. Karenanya dia bergabung di Hr. Waspada sejak tahun 1976, dan beberapa kali meraih predikat wartawan terbaik, wartawan produktif dan wartawan senior serta banyak memeroleh penghargaan di bidang yang satu ini.
Begitupun, Syahrul Karim yang dikenal ramah, supel dan familiar. Syahrul Karim sangat akrab dengan semua kalangan cendekia, akademika, ulama, birokrat, masyarakat di semua kelas. Tak terkecuali, dengan kalangan mahasiswa terutama era reformasi dimana saya pada saat itu acap menjadi kontributornya dalam pergerakan mahasiswa.
Saya pun banyak berguru padanya yang akhirnya turut bergabung di Hr. Waspada sejak 1 Januari 2000. Banyak ilmu yang saya dapatkan darinya, tak sedikit nilai kehidupan ikut ditumpahkan ke saya. Dia tidak hanya sebagai guru jurnalis bagi saya, tak sebatas sebagai senior-junior dan antara seorang ayah dengan anaknya atau sebutan adik dengan abangnya.
Lebih dari itu, Syahrul Karim benar-benar sebagai sahabat yang selalu bisa ditumpahkan segala rasa. Dia kerap saya jadikan sebagai “tong sampah†dan tempat “sumpah serapah†saya manakala terhimpit masalah dan petaka.
“Semestinya Abang kan bisa bilang lebih dulu sehingga saya tidak menjadi terjebak seperti ini,†hardik saya ketika selisih paham terkait pemberitaan perdata pada tahun 2001. Atas sumpah serapah yang macam-macam lainnya itu Bang Syahrul Karim pada saat itu dengan sabarnya menenangkan saya. Dan, dia samasekali tak memuntahkan rasa marah serupa ke saya.
Dia begitu tenang. Dan sejak saat itu pula saya mulai belajar sikologis sedianya upaya mengendalikan emosi dan mengelola konflik termasuk persoalan batin darinya. Ada satu romantika ketika saya menyebutnya “pekerja kemaslahatan makhluk bumiâ€, tapi sebutan itu malah kemudian dia menyematkan ke saya dengan penuh cengengesan canda tawa.
Syahrul Karim lahir 24 Juni 1952 di Peureulak, Aceh Timur, memiliki seorang isteri Afrida. Selama mengayuh biduk rumahtangga bagai tak pernah ada perselisihan baik dengan isteri maupun anak-anaknya yang dicintai sepenuh hati dan jiwa.
Bersama Afrida pula Syahrul Karim menitiskan tujuh orang anak, masing-masing tiga putra dan empat putri. Berikut nama-nama anaknya Villa Safri Dewi, Erika Safri Yani, Karmena Safri Yana dan Lauzana Safrila semuanya.