Banda Aceh (ANTARA Aceh) - Pra-Kongres Peradaban Aceh yang berlangsung di Banda Aceh merekomendasikan agar bahasa-bahasa lokal di Aceh masuk dalam kurikulum di sekolah tingkat dasar dan menengah sehingga anak-anak sekolah bisa mempelajari bahasa ibunya dengan lebih tersistem dan sesuai kaedah yang benar.
"Ini penting agar mereka akrab dengan bahasa lokal masing-masing," kata Sekretaris Panitia Kongres Peradaban Aceh Mustafa Ismail di Banda Aceh, Senin.
Ia menjelaskan kewajiban mempelajari bahasa lokal itu hanya diperuntukkan bagi siswa-siswa yang berada di wilayah masing-masing sesuai dengan bahasa ibu mereka.
Ia mencontohkan siswa di Gayo hanya mempelajari bahasa Gayo, siswa di pesisir Aceh hanya memperlajari bahasa Aceh, siswa di Aceh Tamiang hanya mempelajari bahasa Tamiang, dan seterusnya.
"Jadi mereka tidak diwajibkan mempelajari atau bisa menuturkan semua bahasa lokal yang ada di Aceh," kata Mustafa.
Ia mengatakan sangat tidak mungkin semua siswa di Aceh harus mempelajari semua bahasa lokal di Aceh.
"Mereka hanya didorong untuk mempelajari dan mahir bahasa ibunya serta tidak malu menggunakan bahasa lokal itu dalam pergaulan di lingkungannya dan mereka tidak diharuskan bisa menuturkan semua bahasa. Itu sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal," katanya.
Ia menyebutkan di Jawa hal tersebut telah dilakukan. Misalnya di Jawa Barat ada pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda.
Mustafa yang bermukim di Jakarta dan tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Depok (DKD), Jawa Barat, itu menambahkan, muatan lokal itu diterapkan secara terbatas di wilayah yang menjadi teritorial penuturan bahasa itu sendiri dan tidak belaku umum untuk semua wilayah.
Fahmi Mada, salah seorang insiator KPA 2015, menambahkan bahwa hal serupa terjadi di Banten.
"Ada muatan lokal bahasa Sunda di sekolah-sekolah di sana," ujar pengusaha bidang farmasi yang tinggal di wilayah Tangerang Selatan, Banten, itu.
Menurut Fahmi, meskipun siswa-siswa itu berada di Pulau Jawa, mereka tidak diharuskan belajar semua bahasa yang ada di Pulau Jawa.
"Mereka hanya mempelajari bahasa di wilayah mereka masing-masing. Bukan semua bahasa di Jawa," katanya.
Pra-Kongres Peradaban Aceh bertemakan "Penguatan Bahasa-bahasa Lokal itu dibahas dalam tiga komisi, yakni Komisi I tentang kebijakan, Komisi II tentang tata bahasa dan ejaan, dan Komisi III tentang output dan tidak lanjut.
Ahmad Farhan Hamid menyebutkan rekomendasi lain adalah diperlukan majelis bahasa daerah atau nama lain yang berada langsung di bawah lembaga wali nanggroe atau Gubernur yang cabangnya ada di setiap kabupaten/kota seluruh Aceh.
Kemudian diperlukan kebijakan penggunaan bahasa lokal pada acara-acara tertentu seperti rapat-rapat adat/nonformal atau upacara khusus.
Selanjutnya perlu dicanangkan hari berbahasa lokal satu hari dalam satu minggu pada instansi pemerintah.
Pra-Kongres Peradaban Aceh juga merekomendasi perlunya Qanun atau peraturan gubernur sebagai payung hukum dalam pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal di Aceh dan perlunya jurusan/prodi ilmu bahasa dan sastra daerah Aceh pada perguruan tinggi.
Rekomendasi lain mendorong para pengambil keputusan pada tingkatan provinsi, kabupatan/kota membuat qanun yang menetapkan ejaan bahasa-bahasa lokal di Aceh dan merekomendasikan bahasa lokal di Aceh memiliki kamus dalam bentuk cetak dan digital.
"Juga perlu disusun ensiklopedia Aceh cetak dan digital," kata Farhan.
Pra-Kongres juga merekomendasikan agar Kongres Peradaban Aceh dilakukan pada Desember 2015 dari jadwal yang direncanakan panitia pada 23 Oktober 2015.
"Ini penting agar mereka akrab dengan bahasa lokal masing-masing," kata Sekretaris Panitia Kongres Peradaban Aceh Mustafa Ismail di Banda Aceh, Senin.
Ia menjelaskan kewajiban mempelajari bahasa lokal itu hanya diperuntukkan bagi siswa-siswa yang berada di wilayah masing-masing sesuai dengan bahasa ibu mereka.
Ia mencontohkan siswa di Gayo hanya mempelajari bahasa Gayo, siswa di pesisir Aceh hanya memperlajari bahasa Aceh, siswa di Aceh Tamiang hanya mempelajari bahasa Tamiang, dan seterusnya.
"Jadi mereka tidak diwajibkan mempelajari atau bisa menuturkan semua bahasa lokal yang ada di Aceh," kata Mustafa.
Ia mengatakan sangat tidak mungkin semua siswa di Aceh harus mempelajari semua bahasa lokal di Aceh.
"Mereka hanya didorong untuk mempelajari dan mahir bahasa ibunya serta tidak malu menggunakan bahasa lokal itu dalam pergaulan di lingkungannya dan mereka tidak diharuskan bisa menuturkan semua bahasa. Itu sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal," katanya.
Ia menyebutkan di Jawa hal tersebut telah dilakukan. Misalnya di Jawa Barat ada pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda.
Mustafa yang bermukim di Jakarta dan tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Depok (DKD), Jawa Barat, itu menambahkan, muatan lokal itu diterapkan secara terbatas di wilayah yang menjadi teritorial penuturan bahasa itu sendiri dan tidak belaku umum untuk semua wilayah.
Fahmi Mada, salah seorang insiator KPA 2015, menambahkan bahwa hal serupa terjadi di Banten.
"Ada muatan lokal bahasa Sunda di sekolah-sekolah di sana," ujar pengusaha bidang farmasi yang tinggal di wilayah Tangerang Selatan, Banten, itu.
Menurut Fahmi, meskipun siswa-siswa itu berada di Pulau Jawa, mereka tidak diharuskan belajar semua bahasa yang ada di Pulau Jawa.
"Mereka hanya mempelajari bahasa di wilayah mereka masing-masing. Bukan semua bahasa di Jawa," katanya.
Pra-Kongres Peradaban Aceh bertemakan "Penguatan Bahasa-bahasa Lokal itu dibahas dalam tiga komisi, yakni Komisi I tentang kebijakan, Komisi II tentang tata bahasa dan ejaan, dan Komisi III tentang output dan tidak lanjut.
Ahmad Farhan Hamid menyebutkan rekomendasi lain adalah diperlukan majelis bahasa daerah atau nama lain yang berada langsung di bawah lembaga wali nanggroe atau Gubernur yang cabangnya ada di setiap kabupaten/kota seluruh Aceh.
Kemudian diperlukan kebijakan penggunaan bahasa lokal pada acara-acara tertentu seperti rapat-rapat adat/nonformal atau upacara khusus.
Selanjutnya perlu dicanangkan hari berbahasa lokal satu hari dalam satu minggu pada instansi pemerintah.
Pra-Kongres Peradaban Aceh juga merekomendasi perlunya Qanun atau peraturan gubernur sebagai payung hukum dalam pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa lokal di Aceh dan perlunya jurusan/prodi ilmu bahasa dan sastra daerah Aceh pada perguruan tinggi.
Rekomendasi lain mendorong para pengambil keputusan pada tingkatan provinsi, kabupatan/kota membuat qanun yang menetapkan ejaan bahasa-bahasa lokal di Aceh dan merekomendasikan bahasa lokal di Aceh memiliki kamus dalam bentuk cetak dan digital.
"Juga perlu disusun ensiklopedia Aceh cetak dan digital," kata Farhan.
Pra-Kongres juga merekomendasikan agar Kongres Peradaban Aceh dilakukan pada Desember 2015 dari jadwal yang direncanakan panitia pada 23 Oktober 2015.