Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati mengatakan, perkembangan neraca pembayaran menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan nilai tukar.
"Neraca perdagangan memang cenderung surplus tetapi lebih disebabkan karena penurunan impor yang lebih cepat dibandingkan ekspor, sedangkan neraca transaksi jasa dan pendapatan dipastikan negatif," ujar Enny dalam sebuah seminar, di Jakarta, Kamis.
Enny menuturkan, topangan kinerja neraca pembayaran bergantung dari aliran modal, baik investasi langsung, portofolio dan lainnya. Kinerja investasi langsung akan terkait dengan efektivitas paket-paket kebijakan pemerintah, sedangkan investasi portofolio akan masih melonjak karena tingginya suku bunga domestik.
"Hanya saja, investasi portofolio bergerak liar mengikuti perkembangan ekspektasi, rumor, dan suku bunga," kata Enny.
Menurut dia, faktor eksternal yang menentukan nilai tukar rupiah adalah keputusan kenaikan suku bunga The Fed. Proyeksi perbaikan ekonomi Amerika Serikat pada akhirnya mendorong dilaksanakannya kenaikan suku bunga The Fed pada 2016.
"Keputusan ini akan menyebabkan tekanan terhadap rupiah, terutama yang bersumber dari aliran investasi portofolio," ujar Enny.
Selain itu, lanjutnya, perekonomian Tiongkok yang belum membaik menyebabkan aktivitas perdagangan dunia, terutama permintaan komoditas dunia, tidak akan berubah signifikan. Pelemahan permintaan Tiongkok memberikan dampak yang cukup berarti bagi pertumbuhan ekspor nasional.
"Ditambah lagi suku bunga kredit yang masih cukup tinggi di Indonesia memicu meningkatnya utang luar negeri yang berbunga relatif lebih rendah. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin susah diminimalkan," kata Enny.
Sementara itu, aliran impor pada 2016 akan bergantung dari kinerja sektor industri serta efektivitas paket kebijakan pemerintah. Jika paket kebijakan tersebut berjalan dengan baik, maka kebutuhan valas ke depan masih cukup besar.
Rata-rata impor nasional sepanjang Januari-September 2015 mencapai 107,94 miliar dolar AS, sedangkan kebutuhan valas dari pembayaran pokok dan bunga utang pemerintah dan bank sentral pada Januari-Juli 2016 mencapai 5,08 miliar dolar AS.
Dengan memperhatikan prediksi situasi pada 2016, maka pihaknya memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa menembus Rp14.000 per dolar AS.
"Level tersebut lebih pesimis dari pemerintah (Rp13.900 per dolar AS). Namun, jika pemerintah bersama BI dapat berupaya maksimal untuk memperbaiki kinerja defisit transaksi berjalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka masih ada peluang bagi rupiah berada di bawah Rp14.000 per dolar AS," ujar Enny.