Kejati Aceh periksa 50 saksi kasus korupsi pertanahan
Senin, 28 Agustus 2023 16:56 WIB
Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan. Pada 2009, TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara.
Tujuan pengajuan sertifikat tanah, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.
Kemudian, M selaku Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang menerbitkan sertifikat tanah dari tanah negara tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut kepada TR dengan nilai Rp6,43 miliar.
"Penanganan kasus masih dalam proses penyidikan. Penyidik masih terus mengumpulkan keterangan serta alat dan barang bukti lainnya. Dan tidak tertutup kemungkinan adanya penambahan tersangka, tergantung hasil penyidikan," kata Ali Rasab Lubis.
Dalam kasus ini, penyidik Kejati Aceh menyita lahan perkebunan dengan luas mencapai 1.306,5 hektare beserta enam sertifikat tanah. Lahan perkebunan yang disita tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang.
"Sampai saat ini, penyidik masih bekerja menuntaskan penyidikan perkara. Taksiran kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp46,8 miliar," kata Ali Rasab Lubis.
Para tersangka disangkakan primair melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Serta subsidair melanggar Pasal 3 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP," kata Ali Rasab Lubis.
Baca juga: Nelayan Aceh Tamiang hanyut jatuh dari getek penyeberangan