Selain itu, Safuadi mengatakan kelemahan UMKM dari Aceh adalah belum membangun narahubungnya. Padahal, peran narahubung tersebut penting agar distribusi pasokan produk berkelanjutan.
"Yang terpenting adalah bagaimana produk-produk UMKM tersebut berkualitas dan layak dijual di pasar ekspor. Dan semua persyaratan sebuah produk ekspor harus dipenuhi," kata Safuadi.
Sementara itu, Konsulat Bea Cukai Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Ahmad bin Tan, yang hadir dalam pertemuan tersebut mengatakan syarat memasarkan produk-produknya UMKM ke Malaysia tentunya harus mendapatkan izin. Perizinan tergantung produk apa yang dijual di Malaysia.
"Persyaratan sama dengan produk-produk dari negara lain. Izinnya harus ada. Dan pengurusan izinnya tidak harus ke Malaysia, tetapi melalui agensi yang resmi dan terdaftar di kastum atau bea cukainya Malaysia," katanya.
Selain itu, kata Ahmad, manifes pengiriman produk juga harus sesuai, baik jumlah maupun komposisi kandungan. Pencantuman komposisi untuk produk kuliner juga mudah dimengerti secara internasional.
"Artinya, barang diekspor ke Malaysia tersebut jangan sampai menimbulkan kecurigaan petugas bea cukai. Kalau ada kecurigaan karena ketidaksesuaian manifes, maka barang dibongkar. Kalau ini yang terjadi, yang rugi adalah produsen, dalam hal ini UMKM," katanya.
Ia menyebutkan produk-produk UMKM dari Aceh bisa bersaing di pasaran Malaysia. Namun, produk tersebut harus dikemas dengan baik dan menarik, sehingga diminati masyarakat di Malaysia.
"Keunggulan produk dari Indonesia, terutama Aceh, Khususnya untuk kuliner, tidak terlalu banyak menggunakan zat kimia. Artinya produk kuliner dari Indonesia kondisinya alami. Hanya saja, kemasannya tidak membuat konsumen menarik untuk membelinya," kata Ahmad.
Baca juga: Banda Aceh pamer beragam produk perajin UMKM di Sarasehan Apeksi