Lhokseumawe (ANTARA) - Terik matahari tidak menjadi hambatan untuk meraih cita-cita, walaupun kaki mereka kelelahan berjalan namun lima anak pesisir asal Desa Pusong itu tetap semangat untuk menimba ilmu. Semangat mereka adalah harapan untuk menghapus potret kemiskinan dan putus sekolah yang seakan jadi hal lumrah untuk diterima masyarakat di daerah pesisir utara Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh itu.
Sebelumnya anak-anak Pusong tersebut juga sempat putus sekolah karena kerasnya kehidupan ekonomi keluarga mereka. Namun setelah sempat ada bantuan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe, akhirnya kelima anak tersebut kembali ke bangku sekolah.
Kelima anak tersebut adalah Aldo, Salman, Teja, dan Farhan yang seluruhnya bersekolah di SD Negeri 20 Kota Lhokseumawe, sementara seorang lainnya Suci menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Kota Lhokseumawe.
"Sebagian orang tua mereka hanya bekerja untuk menjemur ikan di pinggir laut, memang kondisi kehidupannya sulit," kata Rizki Azkia, salah seorang tenaga pengajar dari Wadah Pembaca Penalar (WACANA) kepada ANTARA pada awal Februari 2024.
Baca juga: Ribuan pelajar ikuti pendidikan Ramadhan di Lhokseumawe, begini penjelasannya
Ia mengatakan WACANA sempat melakukan program Sekolah Pesisir di wilayah Pusong dan mencoba mengubah pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk generasi penerus di sana. Menurut dia, sebenarnya ada 11 anak yang dibantu oleh pemerintah daerah agar bisa sekolah kembali. Namun, hanya lima anak tersebut yang memiliki semangat tinggi dan mau melanjutkan pendidikan mereka.
Kelima anak itu rela berjalan kaki cukup jauh dari rumah karena tidak ada sarana transportasi untuk mereka.
Rizki juga meyakini, anak dari pesisir Pusong hanya contoh kecil dari anak-anak lain di Kota Lhokseumawe yang tidak lagi bisa mengenyam pendidikan sekolah. Sudah seharusnya ini menjadi permasalahan serius yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan DPRK setempat.
"Sebelumnya saat masa Pj (Penjabat.Red) Wali Kota pak Imran, anak-anak ini difasilitasi naik becak untuk antar jemput, dan biayanya dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Namun akhirnya pihak dinas memutuskan bantuan itu, akhirnya anak-anak harus berjalan kaki. Saat dimintai Solusi juga belum ada respon dari pemerintah," ungkap Rizki.
Rizki menambahkan, para orang tua juga mencoba menabung untuk membelikan anak-anak mereka sepeda bekas, namun apa daya penghasilan sebagai penjemur ikan dan nelayan belum terlalu maksimal untuk biaya hidup sehari-hari dan membeli sepeda.
"Penghasilannya rata-rata hanya Rp20 ribu perhari, hanya cukup untuk hidup sehari, tapi mereka punya keinginan besar untuk sekolah," jelasnya.