Banda Aceh (ANTARA) - Pandemi virus corona disease (COVID-19) menyasar hampir seluruh negara di dunia, wabah dengan jumlah warga terinfeksi sekitar 6,4 juta jiwa (data 3 Juni 2020) itu telah menimbulkan banyak masalah bagi penduduk dunia.
COVID-19 yang merupakan bencana nonalam terburuk di abad 21 ini pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada Desember 2019, kemudian merambah ke sejumlah negara, termasuk di Indonesia pada awal Maret 2020.
Kasus pertama di Indonesia terpapar virus corona adalah warga Depok, Provinsi Jawa Barat, yang diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu, kemudian berkembang ke sejumlah kota besar di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, termasuk Aceh.
Khusus di Aceh, kasus pertama COVID-19 muncul pada 23 Maret, dan hingga kini terkonfirmasi telah 20 kasus, dengan rincian 17 kasus dinyatakan sembuh, satu meninggal dunia, dan dua lainnya masih di rawat di rumah sakit setempat.
Meski Aceh belum termasuk zona merah penyebaran COVID-19, Pemerintah Aceh tanpa lelah melahirkan berbagai langkah strategis dalam upaya menekan angka jumlah warga yang terjangkit virus corona.
Disamping warga disiplin mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, masyarakat daerah berjulukan Serambi Mekkah itu juga sangat kental dengan nilai religi dalam menangkal sebuah wabah atau bala.
Bahkan, daerah provinsi lain yang ada di Indonesia juga diminta untuk mencontohi daerah Tanah Rencong dalam penanganan COVID-19.
Ulama Aceh Tgk Faisal Ali mengatakan semua kasus positif COVID-19 di Aceh bukan bersumber dari penularan secara transmisi lokal, melainkan warga yang memiliki riwayat ke daerah zona merah virus corona dan terkonfirmasi positif setiba di Aceh.
Menurutnya, Aceh yang dianggap berhasil dalam menekan penyebaran COVID-19 itu, karena kepatuhan masyarakat atas anjuran pemimpin dalam berbagai hal, menjaga hingga mematuhi protokol kesehatan yang ada.
"Kemudian patuh dalam hal menjaga kewajiban beragama. Jadi masyarakat Aceh sangat mendengar apa yang disampaikan oleh para ulama, karena memang masyarakat Aceh itu sangat dekat dengan ulama," katanya, di Banda Aceh, awal pekan.
Ia menjelaskan selain berikhtiar yang bersifat manusia, yakni dengan menjaga petunjuk kesehatan, masyarakat Aceh juga mengutamakan memanjat doa kepada Allah SWT, baik dalam shalat wajib lima waktu, maupun di luar shalat wajib, dalam rangka menolak bala.
"Jadi kalau dalam shalat itu membaca (doa) qunut nazilah. Kalau di luar shalat itu ada kearifan lokal itu yang membaca (ayat) waqulja al haqqu.., juga membaca (doa) ya latif.., dan berbagai model bacaan lain terkait dengan tolak bala," katanya.
Hal demikian merupakan bentuk-bentuk yang dilakukan oleh orang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai upaya menjauhi bala atau bencana nonalam, yang disebut COVID-19.
"Maka bukan hanya untuk masyarakat Aceh yang kita berdoa, tetapi juga untuk masyarakat lain yang di luar Aceh telah memanjatkan doa kepada Allah SWT," ujar wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh itu.
Ulama yang akrab disapa Lem Faisal itu juga menyebutkan, masyarakat Aceh meyakini tidak ada penyebaran COVID-19 di masjid-masjid, mengingat seseorang yang mendatangi masjid ialah orang yang telah bersih dan suci.
"Kita yakin, karena kenapa kalau orang yang datang ke masjid pasti pakaiannya sudah bersih, dan dia memperhambakan diri kepada Allah, di situ bermunajat kepada Allah, ya Allah jauhi oleh-Mu dari pada kami akan bala, hal-hal seperti ini lah dilakukan," katanya.
Menurut dia, ketika masyarakat Aceh yang melaksanakan shalat adalah orang yang saleh, kuat keimanannya, maka sangat tidak beralasan apabila menafikan bahwa doa sebagai hal yang sangat utama dalam rangka menjauhi bala.
"Semuanya mengamalkan kearifan lokal dalam kita mencegah bala, itu yang membuat kita di Aceh tidak terproduksi COVID-19, hanya ada dari luar daerah, tapi alhamdulillah mereka yang dari luar juga diberikan kesembuhan oleh Allah SWT," katanya.
Dalam rangka menyambut normal baru di Aceh, ulama mengingatkan juga masyarakat untuk tidak pernah berhenti membaca qunut nazilah dalam setiap shalat, serta tetap mengumandangkan ayat-ayat dan zikir terkait dengan tolak bala.
"Juga kita perlu memperhatikan protokol kesehatan di dalam keseharian kita, jadi dua hal ini doa dan ikhtiar kemanusiaan itu harus kita jalankan, tapi sebagai orang yang beriman memperbanyak doa itu harus diutamakan," ujar Lem Faisal.
Perlu pemeriksaan COVID-19 massal
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh menilai bahwa Pemerintah Aceh perlu melakukan pemeriksaan virus corona secara massal terhadap masyarakat, guna memastikan bahwa daerah Tanah Rencong terbebas dari penyebaran COVID-19.
Ketua IDI Aceh dr Safrizal Rahman mengatakan tidak adanya penambahan kasus positif COVID-19 di Aceh sejak beberapa hari terakhir, juga harus dibuktikan dengan pemeriksaan kesehatan massal, baik melalui tes cepat (rapid test) atau uji sampel swab.
"Kalau semakin banyak kita periksa tidak ada kasusnya, kita boleh mengatakan Alhamdulillah saya (Aceh, red) aman," kata Safrizal.
Safrizal mengingatkan pemerintah untuk waspada terhadap warga yang tidak mengalami sakit atau tidak bergejala, namun ketika diperiksa ternyata positif COVID-19 atau termasuk dalam status orang tanpa gejala (OTG).
"Jadi mestinya harus tetap dilakukan pemeriksaan massal, apapun lah metodenya, walaupun kasus yang sakit di rumah sakit terlihat kosong tapi jangan kita anggap masalahnya selesai kan begitu, itu dua hal berbeda," ujarnya.
Menurut dia, pemeriksaan massal terkait COVID-19 dapat dilakukan dengan dua metode yakni tes cepat atau uji sampel swab tenggorokan setiap warga di laboratorium real time polymerase chain reaction (RT PCR).
Apalagi, Provinsi Aceh telah memiliki dua laboratorium RT PCR, milik Balai Litbangkes Aceh di Siron, Aceh Besar dan laboratorium milik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
"Sehingga pemeriksaan swab juga bisa dilakukan yang lebih massal, seperti ke tempat-tempat keramaian, diambil swabnya untuk diperiksa. Memang butuh biaya, artinya memang pemerintah dalam hal ini harus fokus pembiayaannya untuk mengatasi COVID-19," ujarnya.
"Kalau kita lihat pasien di rumah sakit tidak ada, kita lakukan rapid test atau pemeriksaan COVID-19 lainnya, juga kasusnya tidak banyak, itu baru kita bisa bilang Alhamdulillah kami (Aceh, red) aman, tinggal kita batasi orang masuk, kita awasi orang masuk, udah selesai kita," katanya.
Pemeriksaan COVID-19 gratis
Juru bicara COVID-19 Aceh Saifullah Abdulgani mengatakan Pemerintah Aceh terus mengimbau masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, mulai dari menjaga jarak, rajin mencuci tangan, pakai masker, serta disiplin isolasi mandiri bagi kembali dari daerah transmisi lokal.
Bahkan, kata dia, Pemerintah Aceh juga sedang mempersiapkan prosedur pemeriksaan COVID-19 secara gratis bagi masyarakat untuk kebutuhan administratif atau mandiri.
Pemeriksaan untuk kebutuhan administratif atau mandiri yang sebutkan seperti dalam upaya mendapatkan surat keterangan pemeriksaan COVID-19 bagi warga yang akan melakukan perjalanan, administrasi pendidikan, atau kebutuhan lainnya.
"Sedangkan pemeriksaan untuk kebutuhan medis orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan pasien positif COVID-19 memang tidak dipungut biaya," ujarnya.
Menurut dia, gugus tugas COVID-19 Aceh sedang berkoordinasi dengan 13 rumah sakit rujukan pasien terkait virus corona, dinas kesehatan kabupaten/kota, dan Balai Litbangkes Aceh dalam hal merumuskan prosedur pemeriksaan gratis mandiri.
Kata dia, mekanisme pendaftaran bagi warga yang membutuhkan pelayanan gratis mulai prosedur pemeriksaan, jadwal pelaksanaan, maupun durasi waktu untuk mendapatkan hasilnya, harus sinkron dengan semua institusi pelayanan, agar pelayanan kepada masyarakat lancar.
"Semua harus terkoordinasi dan kita persiapkan dengan sebaik-baiknya, agar masyarakat tidak kecewa," kata Jubir yang akrab disapa SAG itu.
Aceh mencegah COVID-19 dengan kearifan lokal
Rabu, 3 Juni 2020 19:29 WIB