Banda Aceh (ANTARA) - Jarum jam menunjukkan pukul 20.14 WIB. Suhu udara di shelter tiga pada angka 16 derajat celsius. Hawa dingin membekap tubuh. Gemuruh angin ikut menambah dingin malam. Apalagi hujan baru saja berhenti membasahi bumi.
Empat tenda berkapasitas empat orang berdiri tegak. Sesekali ikut bergoyah diterpa angin kencang. Riski (30) salah satu pendaki tampak akrab dengan situasi itu. Dia paling senior dalam hal pendakian, dibanding 19 pendaki lain yang ikut berkemah dengannya.
Hanya mengenakan baju biru lengan panjang, topi bisbol, tanpa jaket dan sarung tangan, pemandu dari Bentang Adventure itu terlihat santai menghadap kompor gas mini portable, memasak air untuk menyeduh kopi.
“Kalau udara dingin seperti ini saya masih sanggup tahan,” kata Riski, menjawab, ketika seorang pendaki bertanya, belum lama ini.
Sementara belasan pendaki lain sibuk menghangatkan tubuh. Berulang kali menggosokan kedua tangan. Menjulurkan kaki dan tangan ke api unggun yang tak begitu besar menyala.
Ada juga yang memilih berdiam diri dalam tenda, dibalut sleeping bag. Lengkap dengan sarung tangan dan kaos kaki, beberapa juga memakai kupluk.
"Kita mulai summit ke puncak sekitar pukul 03.00 WIB," kata Riski.
Shelter tiga merupakan tempat istirahat terakhir bagi para pendaki puncak Gunung Burni Telong. Ketinggian gunung berapi ini mencapai 2.624 meter diatas permukaan laut (mdpl), terletak di Kabupaten Bener Meriah, Aceh.
Statusnya, gunung berapi bertipe A dan aktif normal. Kini Burni Telong menjadi salah satu destinasi pendakian terbaik di provinsi berjulukan Serambi Mekkah itu.
Berdasarkan berbagai literatur, Burni Telong terletak pada ketinggian 2.624 mdpl, tipe strato memiliki lima kawah yang semuanya berada di puncak.
Secara geografis terletak di 4 derajat 46 Lintang Utara dan 96 derajat 48.5 Bujur Timur. Catatan sejarah menyebutkan, Burni Telong pernah meletus tahun 1837, 1939, 1856, 1919 dan terakhir 1924, tepatnya 7 Desember yang ditandai dengan lima buah tiang asap, tanpa diikuti satu letusanpun (Neuman van Padang 1951).
Sejak meletus terakhir kalinya pada 1924, Burni Telong tidak terjadi peningkatan kegiatan dan letusan. Pada 2010, Burni Telong mulai dikelola jadi tujuan pendakian. Kala itu paling banyak pendakit dari mahasiswa pecinta alam.
Hutan Tropis
Sebelum mendaki, semua peserta harus mendaftarkan diri di Pos Pendakian atau Pos Ranger Burni Telong di Desa Rembune, Kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah. Petugas turut memeriksa setiap barang bawaan ke puncak, guna menghindari hal yang tak diinginkan.
Untuk menuju ke puncak Burni Telong, para pendaki bakal melewati tiga shelter.
Sekelompok pemuda yang tergabung dalam Hawhaw Trip berkesempatan menjajal pesona Burni Telong. Pendakian mereka dimulai pukul 12.00 WIB dari pos menuju ke pintu rimba, berjarak 720 meter.
Kaki mulai menapak menyusuri kebun kopi milik warga. Beberapa pendaki memikul carrier besar, langsung disambut jalur yang menanjak.
“Dari pintu rimba hingga ke shelter tiga nanti kita akan melewati hutan tropis. Track akan terus menanjak,” kata Riski.
Beranjak dari pintu rimba, pendaki mulai membelah hutan lindung menuju shelter satu. Mayoritas pendaki yang masih pemula diminta berhati-hati menapakkan kaki di setiap pijakan, bebatuan dan akar-akar pohon.
Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk tiba di shelter satu. Selain menjadi tempat istirahat, shelter ini menjadi satu-satunya lokasi yang menyimpan sumber air.
“Kalau kita sudah di atas, mau ambil air ya harus turun ke shelter satu ini,” ujar Riski.
Tutupan hutan begitu rapat. Suguhan udara segar dibalut hijau pepohonan besar terus terasa sepanjang perjalanan hingga ke shelter tiga. Pendakian dari shelter satu ke dua butuh waktu sejam, begitu juga dengan waktu perjalanan dari shelter dua ke tiga.
Kata Riski shelter tiga menjadi tempat berkemah setiap pendaki sebelum menuju puncak atau summit ke Burni Telong. Pendaki memiliki waktu panjang untuk beristirahat, mangisi nutrisi, menyeruput kopi dan tidur.
“Untuk summit ke puncak kita membutuhkan waktu standarnya tiga jam juga, bisa lebih cepat, bisa lebih lambat, tergantung pendakinya,” katanya.
Biasanya, kata Riski, pendakian ke puncak Burni Telong dimulai pada pukul 03.00 WIB, dini hari. Targetnya agar dapat menikmati matahari terbit dari atas puncak.
Jalurnya pendakiannya tidak lagi melewati hutan tropis, melainkan hutan yang berlumut, dipenuhi dengan bebatuan.
“Karena kondisi untuk summit masih gelap maka kita minta hati-hati pada setiap pijakan,” ujarnya.
Summit ke puncak pendaki wajib memiliki senter kepala, memakai jaket, sarung tangan dan perlengkapan lain untuk melawan hawa dingin. Suhu di puncak bisa mencapai 16-15 derajat celsius.
salah satu tanaman langka yang kerap dijumpai di gunung. Kantong semar (Genus Nepenthes), anggrek (family Orchidaceae) dan beberapa jenis tanaman liar lain.
Ketika berhasil mencapai puncak, pendaki ditakjubkan pemandangan yang memanjakan mata. Sejajar dengan gumpalan awan, tepat di ketinggian 2.624 mdpl. Udara dingin pagi masih membekap, namun tak membuat para pendaki urung berfoto, swafoto atau cukup menikmati udara alam bebas sembari menyeruput kopi.
“Ini pendakian pertama bagi saya. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di puncak, setelah melewati track sangat membuat lelah, tapi cukup terbalas dengan keindahan alam yang kita dapatkan ini,” kata Fadhli (26), pendaki asal Lamno, Kabupaten Aceh Jaya.
Dampak Pandemi
Pengelola Pos Burni Telong Iwan Maulana mengatakan gunung Burni Telong mulai dikelola untuk wisata pendakian sejak 2010. Namun, saat itu pendaki ramai dari kalangan mahasiswa pencinta alam, yang mengikuti pendidikan dan latihan dasar.
“Pendakian ke Burni Telong ini mulai kita buka untuk umum sebagai wisata pendakian pada 2014,” kata Iwan.
Pada Maret 2020, pendakian Burni Telong terpaksa ditutup selama tiga bulan, imbas dari pandemi COVID-19. Kemudian normal dibuka kembali pada akhir September 2020.
“Bulan Juli sempat kita buka tapi tidak ramai pendaki. Paling ramai Agustus, ketika kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia disana, sekitar 60 kelompok atau 400 an orang pendaki, tetap protokol kesehatan. Setelah itu kita tutup kembali,” katanya.
“Akhir September 2020 baru kita buka kembali sampai sekarang. Walaupun sempat ditutup, ada juga pengunjung yang tetap ingin mendaki tapi tidak kita bolehkan,” ujar Ranger Burni Telong itu.
Meski masih di tengah pandemi, kata Iwan, warga pencinta pendakian tetap ramai berdatangan. Dalam sepekan rata-rata bisa mencapai 200 orang, terbagi dalam puluhan kelompok.
“Kecuali hari Jumat, pagi kita tutup, setelah Jumat baru boleh pendakian,” katanya.
Untuk biaya masuk, setiap mendaki merogoh kocek sebesar Rp10 ribu per orang. Biaya parkir sepeda motor Rp20 ribu per unit dan kendaraan roda empat Rp30 ribu per unit, selama 24 jam.
Meski wisata pendakian, apratur pemerintah kabupaten dan desa setempat juga tetap menerapkan syariat Islam. Kata dia, apabila dalam satu kelompok pendakian bercampur laki-laki dan perempuan maka diharuskan memakai jasa pemandu satu orang, warga kampung setempat.
“Wajib ada guide orang kampung sini untuk mendampingi. Biayanya Rp300 ribu untuk satu kelompok. Satu kelompok maksimal 15 orang,” katanya.
Dukungan
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bener Meriah Irmansyah mengatakan pemerintah sangat mendukung pengembangan destinasi wisata pendaki Burni Telong, sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.
Sejak dibuka untuk umum, pemerintah terus melakukan peningkatan fasilitas seperti pos pendakian, lahan parkir, panggung seni dan budaya, landmark Burni Telong, dan beberapa lainnya.
“Dua hektare lahan di pos pendakian itu pemerintah yang melakukan pembebasan dari masyarakat, dan pembangunan fisik lainnya. Ini bentu dukungan pemerintah ke Burni Telong ini,” kata Irmansyah.
Menurut dia destinasi ini juga telah memberi dampak langsung bagi peningkatan ekonomi warga sekitar. Kata dia, hampir setiap hari ada pendakian ke puncak, baik dari dalam atau luar Aceh.
“Kita tidak fokus pada PAD yang masuk, tapi kita konsentrasi berapa orang yang hadir kesana mendaki, penginapan, berbelanja, maka akan menambah pendapatan bagi warga sekitar,” katanya.
Kedepan, Irmansyah berharap pemerintah pusat atau provinsi dapat membangun akses jalan menuju pos pendakian, yang juga merupakan jalan lingkar menguhungkan dengan destinasi wisata lainnya.
“Karena ini menjadi wisata prioritas kita juga di Bener Meriah,” katanya.
Menjajal pesona Gunung Burni Telong
Minggu, 11 April 2021 9:59 WIB