Nagan Raya (ANTARA) - Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA) meminta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Aceh agar tidak tebang pilih dalam penegakan hukum konservasi di daerah ini, termasuk kasus matinya gajah liar di Aceh Barat yang terjadi pada Rabu, 1 Januari 2025 lalu.
“Tidak ada sanksi hukum terhadap perusahaan ketika ditemukan gajah mati dalam areal izin perkebunan seperti yang terjadi di Aceh Barat,” kata Direktur For-BINA Aceh, Muhammad Nur dalam keterangan diterima di Aceh Barat, Selasa.
Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh memastikan matinya seekor gajah betina di konsesi PT Sapta Pesona Jaya Abadi di kawasan Desa Baro Paya-Desa Sibintang, Kecamatan Panton Reue, Kabupaten Aceh Barat pada 1 Januari 2025 lalu murni karena sakit dan kakinya terjatuh ke lumpur.
“Benar ada kematian gajah di Aceh Barat, satwa ini mati karena kakinya yang terluka jatuh ke dalam lumpur,” kata Kepala BKSDA Aceh Ujang Wisnu Barata yang dihubungi ANTARA melalui saluran telepon Whatsapp dari Aceh Barat, Sabtu (4/1).
Baca juga: Gajah mati di konsesi perusahaan di Aceh Barat, begini kata BKSDA
Ia menjelaskan, seekor gajah yang mati tersebut berjenis kelamin betina dan berusia sekitar 30 tahun.
Muhammad Nur menyebutkan, sepanjang tahun 2024, tercatat 180 kasus konflik antara manusia dan satwa liar. Jumlah ini menurun 21 persen dibandingkan tahun 2023, yang mencatat 218 kejadian.
Dalam periode lima tahun terakhir atau dari tahun 2019 hingga 2024, tercatat total 896 konflik satwa-manusia di Aceh. Angka ini cukup memprihatinkan, terutama karena kebijakan pemerintah belum mendukung upaya konservasi secara maksimal.
Beberapa tahun belakangan ini, kata dia, kasus kematian gajah juga pernah terjadi di Aceh Utara. Beda halnya jika satwa dilindungi tersebut mati di lahan perkebunan masyarakat, maka proses hukum dilakukan oleh pihak BKSDA.
Padahal dalam Qanun Aceh No 11/2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar, kata Muhammad Nur, cukup tegas disebutkan ada sanksi administrasi terhadap perusahaan yang memegang izin yang melanggar dan/atau lalai yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan satwa liar, dapat diberikan sanksi administrasi berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, dan pencabutan izin.
Namun sejauh ini BKSDA belum berani melakukan itu, hanya berani dengan rakyat kecil, katanya.
Muhammad Nur juga menjelaskan, catatan buruk lainnya dalam hal penanganan konflik agraria dalam kawasan konservasi sebagaimana yang terjadi di suaka marga satwa rawa Singkil.
Menurutnya, penggunaan aparat keamanan dalam menertibkan perkebunan masyarakat bukanlah cara dan strategi yang tepat diberlakukan di Aceh. Mengingat Aceh memiliki riwayat konflik berkepanjangan dan krisis lahan pertanian, dikhawatirkan akan lahir konflik baru antara warga dengan BKSDA.
“Masih banyak strategi lain yang dapat di pakai lebih humanis dan tidak merugikan masyarakat kecil. Perilaku perusakan dan pemusnahan komoditas perkebunan masyarakat merupakan prilaku arogansi yang harus segera dihentikan oleh BKSDA,” katanya.
Muhammad Nur juga mendesak Pemerintah Aceh harus mendesak pemerintah pusat untuk dievaluasi kinerja BKSDA di Aceh.
Pihaknya juga meminta BKSDA harus menghormati hak masyarakat adat dan kearifan lokal yang berlaku di Aceh.
Melindungi kekayaan spesies kunci juga bagian dari investasi besar Indonesia, maka Forbina menilai kegagalan BKSDA ini harus menjadi perhatian khusus Kementerian untuk menggantikan kepala BKSDA di Aceh, demikian Muhammad Nur.
Baca juga: Menhut tinjau lahan perusahaan milik Presiden Prabowo untuk area preservasi gajah di Aceh