Jakarta (ANTARA) - Rakyat Indonesia patut menghargai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta karena telah menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada seorang jaksa yang telah terbukti menerima uang sogokan kurang lebih 500.000 dolar AS dalam kasus bekas bank bali.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp600 juta yang jauh lebih berat jika dibandingkan tuntutam tim jaksa penuntut umum yang minta dia “hanya dihukum” empat tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Pinangki diajukan ke “meja hijau”’ karena berjanji kepada Djoko Chandra yang merupakan pemilik bank tersebut untuk membawa kasus kasasinya ke Mahkamah Agung sehigga bisa bebas dari hukuman penjara dua tahun. Akan tetapi dia meminta imbalan yang nilainya miliaran rupiah.
Dari hasil imbalan itu, Pinangki sanggup membeli sedikitnya dua apartemen mewah di Jakarta serta melakukan perawatan kecantikan hingga ke Amerika Serikat.
Ibu jaksa ini juga memiliki tabungan yang tak sedikit yang pasti tidak mungkin dimiliki seorang aparatur sipil negara atau ASN yang hanya mengandalkan diri kepada gaji bulanan.
Dalam sidang Pengadilan Tipikor di Jakarta 8 Februari, majelis yang dipimpin oleh Hakim Ignatius Eko Purwanto ,hakim menyatakan bahwa Pinangki tidak hanya melakukan korupsi tapi juga permufakatan jahat Yang pasti, rakyat Indonesia juga menyaksikan masih adanya ASN yang memanfaatkan jabatan dan posisinya secara salah hanya demi kepentingan dirinya sendiri.
Hakim berpendapat bahwa uang itu dibelanjakan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu majelis hakim sepakat menjatuhkan hukumen lebih berat jika dibandingkan dengan tuntutan jaksa.
Rakyat Indonesia pasti juga tidak bisa melupakan beberapa wanita yang sempat menduduki jabatan penting menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga gubernur.
Sebut saja Angelina Sondakh yang bertahun- tahun duduk di Senayan Jakarta. Kemudian Ratu Atut Chosiyah yang menjadi gubernur Banten. Baik Abgelina maupun Ratu Atut sama- sama masuk penjara, lagi-lagi soal korupsi.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo baru-baru ini memberhentikan dua menterinya, gara- gara korupsi. Mereka itu adalah Edhy Prabowo sebagai menteri kelautan dan perikanan serta Juliarni Batubara dari posisi empuknya menteri sosial.
Rakyat paling- paling hanya bisa mengelus dana karena sampai detik ini, masih ada saja pejabat negara serta wakil rakyat yang tega memakan hak rakyat, baik melalui APBN maupun APBD. Akan tetapi pertanyaan pokoknya adalah sampai kapan korupsi ataupun gratifikasi akan terus dibiarkan.
Perhatikan rakyat
Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 telah mengumumkan bahwa Indonesia sudah diserang virus korona yang pertama kalinya datang dari Kota Wuhan, China.
Akibatnya, lebih dari 1,15 juta orang Indonesia telah positif diserang virus korona. Lebih dari 32.000 orang telah meninggal dunia. Akibat virus jahat ini, banyak perusahaan harus bangkrut atau mengurang kegiatannya. Jutaan buruh terpaksa harus mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK.
Pemerintah yakin bahwa proses pemulihan ekonomi sudah mulai berlangsung walaupun mungkin masih tersendat- sendat. Jadi adalah sangat wajar jika para pejabat mengkonsentrasikan dirinya untuk rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jangan ada lagi pejabat seperti Juliari Batubara sebagai menteri sosial sampai tega-teganya “menyunat” uang bantuan Rp10,000 bagi setiap warga Jakarta. Kalau untuk warga Jakarta saja, Juliari sudah tega menyunat uang bantuan tersebut, apalagi kalau dia berhak berhak mengatur penyaluran bantuan bagi ratusan juta orang Indonesia. Ketua Badan Pusat statistic (BPS) Suharyanto bahwa hingga September tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa.
Kembali persoalan korupsi, maka setiap pejabat maupun ASN harus benar- benar menyadari bahwa mereka itu adalah abdi rakyat sehingga apa posisi dan jabatan mereka maka rakyat harus tetap menjadi subyek kegiatan mereka. Mereka harus merasa beruntung telah dipilih dan diangkat menjadi ASN. Banyak orang tidak beruntung karena gagal menjadi pegawai negeri sipil.
Rakyat dan pejabat adalah dua pihak yang saling membutuhkan. Masyarakat mendambakan pelayanan yang sebaik mungkin, sedangkan ASN dan pejabat tentu saja berharap gaji dan tunjangan mereka yang antara lain berasal dari pajak rakyat terus lancar, Istilah kerennya adalah simbiose mutualisme.
Akan tetapi karena jumlah rakyat jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan ASN, kemudian anggota Polri dan TNI maka rakyat berhak menentukan apakah seorang pegawai pemerintahan sudah bekerja sebaik mungkin atau kah hanya bekerja “asal-asalan”. Apabila sang aparat dianggap asal-asalan maka dia bisa diadukan ke atasannya hingga dipecat.
Karena itu, rakyat berhak menuntut pelayanan sebaik mungkin sehingga masyarakat bisa diangap sebagai “raja” bagi pegawai pemerintah.
Jadi, tukang becak, supir ojek dan taksi, bahkan pemulung hingga orang-orang “kelas bawah” jangan dianggap mereka tidak memiliki hak untuk dilayani oleh orang- orang pemerintah. Orang- orang “kecil “ juga berhak dilayani seperti mahasiswa orang kantoran’
Karena sekalipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah berhasil membongkar begitu banyak tindak korupsi di banyak instansi pemerintah maka langkah-langkah membasmi kejahatan itu harus terus dilanjutkan. Terserah KPK akan mengutamakan operasi tangkap tangan atau OTT atau kah seperti mengutamakan pencegahan.
Bagi rakyat yang terpenting adalah kejahatan di bidang keuangan ini harus tidak boleh ada lagi atau minimal bisa ditekan hingga semaksimal mungkin.
Masak rakyat hari dibiarkan cuma mendengar adanya OTT yang dilanjutkan dengan berlangsungnya tindak pidana korupsi.
Masyarakat pasti amat mendukung pengejaran hingga penangkapan tersangka koruptor untuk dibawa ke pengadilan, Rakyat pasti ingin melihat adana “koruptor kelas kakap” untuk dijatuhi hukuman mati seperti yang didengung-dengungkan pimpinan KPK.
*) Arnaz Firman, wartawan Antara tahun 1982-2018. Meliput acara kepresidenan tahun 2009-
Jaksa Pinangki dihukum, aparatur sipil negara jangan korupsi
Selasa, 9 Februari 2021 14:40 WIB