Lhokseumawe (ANTARA) - Kalangan pedagang menduga ada indikasi praktik jual beli kios di Pasar Inpres Lhokseumawe yang diduga dilakukan oknum di Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kota Lhokseumawe.
Hal tersebut disampaikan puluhan pedagang Pasar Inpres Lhokseumawe saat rapat persiapan aksi unjuk rasa di musala pasar tersebut, di Lhokseumawe, Minggu.
Imran, pedagang mengatakan bahwa dirinya pernah ditawarkan untuk menyetor uang Rp30 juta agar bisa mendapatkan kembali kios yang telah ditempatinya selama puluhan tahun setelah pembongkaran.
"Kios itu sudah puluhan tahun saya gunakan untuk berjualan buah-buahan. Sebelum dibongkar untuk tujuan penataan pasar agar lebih tertata, pihak dinas terkait berjanji akan memberikan kembali kios tersebut kepada pedagang yang menempati sebelumnya," kata Imran.
Ironinya, kata Imran, setelah bangunan kios itu dibangun, namanya sudah tidak masuk dalam daftar penerima kios.
"Beberapa kali saya ke dinas tersebut untuk mencari solusi tapi tak pernah ada jalan keluarnya. Namun pada Januari lalu, saya diundang ke rumah Kepala Disperindagkop Kota Lhokseumawe dan saya diminta menyetor Rp30 juta agar bisa mendapatkan kembali kios tersebut," katanya.
Menurut Imran, berbagai cara dia tempuh agar bisa mendapatkan kembali bangunan kios itu dan pada akhirnya dengan dibantu beberapa pihak, dirinya berhasil mendapatkan kios tersebut tanpa harus membayar.
"Sekarang memang saya sudah dapat kiosnya, tapi bagaimana nasib pedagang yang lain. Apalagi sudah ada rencana pembangunan kios baru paska kebakaran hebat di Pasar Inpres Lhokseumawe tahun lalu," kata Imran.
"Jangan sampai lapak pedagang dijadikan bisnis untuk memperkaya diri sendiri, kasihan kami sebagai warga kecil yang bertahan hidup dari berjualan di lapak Pasar Inpres," katanya.
Lain hal dialami pedagang lainnya, Rosniar yang tidak mendapatkan kios usai dibangun kembali setelah pembongkaran pada September 2020.
"Sebelumnya, pihak Disperindagkop Kota Lhokseumawe telah mendata nama pedagang yang menempati kios, namun setelah kios itu dibangun secara permanen diberikan kepada pedagang lain," kata Rosniar.
"Setelah kios itu dibangun, kami sempat diundang ke Kantor Disperindagkop pada bulan Januari lalu untuk menandatangani surat pernyataan kepemilikan kios," katanya.
Akan tetapi anehnya, menjelang pemberian kunci, namanya sudah tidak masuk dalam nama pedagang yang mendapatkan hak pakai kios tersebut.
"Saat rapat sebelum dibongkar, pihak Disperindagkop berjanji akan memberikan hak pakai kepada pedagang yang sebelumnya menempati bangunan kios itu," katanya.
Padahal, menurut Rosniar, pada 2013 lalu dirinya sudah membayar ganti rugi bangunan yang dibangun oleh pedagang sebelumnya.
"Saya sempat mempertanyakan kenapa tidak dapat hak pakai kios tersebut, namun pihak dinas tidak mengindahkan pertanyaan saya, dan menjawab jika ibu tidak senang, maka laporkan saja ke mana ibu suka," sebut Rosniar.
Rosniar mengharapkan kepada pemerintah kota agar kios tersebut yang menjadi tempat mata pencariannya sehari-hari dapat dikembalikan sebagaimana janji Disperindagkop Kota Lhokseumawe sebelum dilakukan pembongkaran.
"Saya harus minta tolong sama siapa lagi. Saya mohon sama pemerintah untuk dikembalikan kios tersebut kepada saya, agar saya dapat berjualan seperti sebelumnya," katanya.
Kepala Disperindagkop Kota Lhokseumawe Ramli membantah dugaan adanya praktik jual beli kios di pasar inpres yang ditudingkan oleh para pedagang.
"Saya pastikan tidak ada yang namanya jual beli kios di Pasar Inpres Lhokseumawe. Yang ada hanyalah retribusi sebesar Rp1,5 juta dan langsung ke kas daerah,"katanya.
"Jika ada bukti atau oknum pegawai di jajaran Disperindagkop Kota Lhokseumawe yang melakukan hal tersebut, silakan laporkan kepada saya atau pihak penegak hukum," kata Ramli.
Terkait 13 kios yang baru dibangun di Pasar Inpres Lhokseumawe, Ramli memastikan bahwa kios tersebut diberikan kepada pedagang di pasar tersebut sudah sesuai prosedur dan ketentuan secara hukum.
"Sejauh ini tidak ada bangunan yang dibangun oleh pemerintah di lokasi tersebut. Kios yang dibangun oleh pedagang itu ilegal dan kita sudah sering mendapatkan laporan bahwa adanya setoran dan sebagainya," katanya.
"Oleh karena itu, kami tidak mau kecolongan lagi dengan memberikan kios kepada orang yang tidak tepat. Tidak ada itu yang namanya memperjualbelikan kios. Jika ada silakan dibuktikan,"katanya.
Dikatakan Ramli, sebelum dibagikan ke pedagang, secara administrasi akan dibuatkan terlebih dahulu SKRD (surat ketetapan retribusi daerah) dan selanjutnya baru dikeluarkan SSRD (surat setoran retribusi daerah)," kata Ramli.
Setelah itu, kata Ramli, barulah lahir kontrak sewa menyewa selama satu tahun dan sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk tahun selanjutnya juga dilakukan hal yang sama.
"Nama pedagang yang menempati kios tersebut sudah tercatat di dalam lembaran daerah sebagai sumber PAD dari kios aset Disperindagkop Kota Lhokseumawe," katanya.
"Kita tentu tetap akan berikan ke pedagang yang berjualan dan bangunan yang telah kita bangun dapat digunakan sebaik-baiknya sehingga perekonomian masyarakat dapat meningkat," kata Ramli.