Meulaboh (ANTARA) - Bupati Aceh Barat H Ramli MS mengatakan Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al Haytar layak mendapatkan penghargaan sebagai tokoh perdamaian , atas jasanya mewujudkan dan menjaga perdamaian di Aceh.
Seperti diketahui, penghargaan sebagai tokoh perdamaian tersebut diberikan oleh Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Prof Samsul Rizal, Kamis di Banda Aceh.
Baca juga: Wali Nanggroe Aceh terima anugerah tokoh perdamaian USK Award 2022
"Atas nama masyarakat Aceh Barat, kami berterima kasih atas penghargaan yang telah diberikan kepada Wali Nanggroe Aceh," kata Bupati Ramli MS, Sabtu.
Menurutnya, penghargaan yang diberikan tersebut sebagai bukti bahwa Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar, merupakan tokoh yang berperan besar dalam mewujudkan dan menjaga perdamaian Aceh yang telah terwujud sejak tanggal 15 Agustus 2005 silam.
Baca juga: Komisaris BSI Tuan Guru Bajang temui Wali Nanggroe Aceh
Ramli MS mengatakan pemberian penghargaan tokoh perdamaian tersebut diharapkan dapat menjadi perhatian kepada semua pihak, bahwa Malik Mahmud selaku Wali Nanggroe Aceh selama ini konsisten dalam memelihara perdamaian di Aceh.
Selain itu, penghargaan tersebut juga telah membuktikan kepada pemerintah bahwa Aceh komit menjaga dan merawat perdamaian, demi kesejahteraan seluruh rakyat Aceh, katanya.
Baca juga: MPR RI dan Gerindra dukung kelancaran implementasi MoU Helsinki
Ramli MS juga berharap pemberian penghargaan tersebut agar dapat menjadi perhatian penuh pemerintah dan semua pihak, agar dapat melihat Aceh secara keseluruhan.
"Penghargaan perdamaian yang dinobatkan kepada Wali Nanggroe Aceh telah membuktikan kepada dunia, bahwa Aceh komit dengan perdamaian, untuk berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," tegasnya.
Sebelumnya, Wali Nanggroe Tgk Malik Mahmud di Banda Aceh mengatakan tokoh kunci terwujudnya perdamaian di Aceh adalah Wali Nanggroe Aceh sebelumnya yakni almarhum Tgk Hasan Muhammad di Tiro yang tidak lain seorang deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulunya.
“Karena atas dasar persetujuan beliau lah perjanjian damai atau MoU Helsinki antara GAM dengan Pemerintah RI pada 15 Agustus 2005 lalu bisa terwujud,” kata Tgk Malik Mahmud.
Wali Nanggroe Aceh yang ke 10 tersebut juga mengingatkan bahwa, MoU Helsinki merupakan kehendak bersama kedua belah pihak, yaitu GAM dan Pemerintah RI, di mana dunia internasional menjadi saksi saat perjanjian damai ditandatangani.
MoU Helsinki, kata Tgk Malik Mahmud, menjadi legal standing Aceh, sekaligus starting point menuju kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh di masa depan.
“17 tahun kita sudah berdamai, kalau masalah uang terlihat tidak ada persoalan. Malah sebagian uangnya tidak mampu kita habiskan,” ujarnya.
Kata dia, damai Aceh bukanlah karya atau kerja individu, tetapi karya bersama. Aceh tidak akan dapat melakukan apapun jika disertai rasa kebencian diantara sesama dan juga terhadap Indonesia yang menjadi pihak dalam perjanjian damai.
Karena itu, Wali Nanggroe bertekad untuk meneruskan metode konsultasi dan komunikasi dalam mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan nasional kedua pihak. Serta terus berusaha menghilangkan sumber-sumber hambatan dan perbedaan untuk perdamaian Aceh berkelanjutan.
“Kita telah memutuskan untuk berdamai dengan RI. Maka perdamaian ini juga harus berani kita pelihara dan jaga untuk terus kita perjuangkan sampai terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh," demikian Tgk Malik Mahmud Al Haytar.