Lhokseumawe (ANTARA Aceh) - Sebagian nelayan di Kabupaten Aceh Utara masih menggunakan pukat trawl, alat tangkap ikan yang dilarang oleh pemerintah, meskipun sudah dilakukan sosialisasi akan dampak penggunaannya.
Kabid Pengawasan Bina Mutu Hasil Perikanan pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Utara Razali di Lhokseumawe, Senin mengatakan, pemerintah melarang penggunaan pukat trawl sesuai Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015.
Akan tetapi masih banyak nelayan yang masih menggunakan pukat trawl dan sejenisnya, yang diperkirakan masih ada sekitar 30 persen nelayan yang menggunakannya.
Disebutkan, dampak dari penggunaan pukat tersebut berimbas kepada kerusakan lingkungan dan biota laut sehingga dianggap berbahaya dan dilarang.
Namun, Razali menyatakan, masalahnya adalah ketidakmampuan nelayan dalam menggantikan alat yang telah ada tersebut, dengan yang lebih ramah lingkungan, karena satu unit alat tangkap yang ramah lingkungan, harganya berkisar antara Rp10 juta hingga Rp20 juta per unitnya.
"Oleh karena itu, nelayan di Aceh Utara, meminta kepada pemerintah pusat untuk membantu mengganti pukat trawl dan sejenisnya yang selama ini mereka pakai dengan jenis pukat yang tidak dilarang," ujarnya.
Disebutkan, nelayan Aceh Utara belum mampu mengganti alat tangkap yang ramah lingkungan, sementara kemampuan keuangan di Pemkab sendiri, tidak mampu karena terbatasnya anggaran yang dimiliki," ujar Razali.
Menghadapi persoalan tersebut, kata dia, pihaknya sebagai leading sektor masalah perikanan di Aceh Utara, meminta kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan, agar dapat membantu pengadaan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk mengantikan pukat trawl yang masih digunakan nelayan.
Kabid Pengawasan Bina Mutu Hasil Perikanan pada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh Utara Razali di Lhokseumawe, Senin mengatakan, pemerintah melarang penggunaan pukat trawl sesuai Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015.
Akan tetapi masih banyak nelayan yang masih menggunakan pukat trawl dan sejenisnya, yang diperkirakan masih ada sekitar 30 persen nelayan yang menggunakannya.
Disebutkan, dampak dari penggunaan pukat tersebut berimbas kepada kerusakan lingkungan dan biota laut sehingga dianggap berbahaya dan dilarang.
Namun, Razali menyatakan, masalahnya adalah ketidakmampuan nelayan dalam menggantikan alat yang telah ada tersebut, dengan yang lebih ramah lingkungan, karena satu unit alat tangkap yang ramah lingkungan, harganya berkisar antara Rp10 juta hingga Rp20 juta per unitnya.
"Oleh karena itu, nelayan di Aceh Utara, meminta kepada pemerintah pusat untuk membantu mengganti pukat trawl dan sejenisnya yang selama ini mereka pakai dengan jenis pukat yang tidak dilarang," ujarnya.
Disebutkan, nelayan Aceh Utara belum mampu mengganti alat tangkap yang ramah lingkungan, sementara kemampuan keuangan di Pemkab sendiri, tidak mampu karena terbatasnya anggaran yang dimiliki," ujar Razali.
Menghadapi persoalan tersebut, kata dia, pihaknya sebagai leading sektor masalah perikanan di Aceh Utara, meminta kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan, agar dapat membantu pengadaan alat tangkap yang ramah lingkungan untuk mengantikan pukat trawl yang masih digunakan nelayan.