Meulaboh (ANTARA) - Pengurus Masjid Jabir Al-Ka'biy Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, meminta kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Dinas Syariat Islam dan Pemberdayaan Dayah setempat agar mengayomi seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan ibadah ajaran agama Islam.
"Kami berharap MPU dan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat melalui Dinas Syariat Islam dan Pemberdayaan Dayah, mengayomi seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai latar belakang organisasi dan mazhab, dan tidak berpihak pada kalangan tertentu. Sebagai contoh, MUI Pusat yang beranggotakan dari berbagai macam kalangan dan tidak didominasi oleh kalangan tertentu," kata Ketua Bidang Pendidikan Masjid Jabir Al-Ka'biy Meulaboh, Aceh Barat, Edi Saputra Asyek kepada ANTARA, Rabu malam..
Sebagai tindaklanjut rekomendasi MPU Aceh Barat untuk menghentikan pengajian di masjid setempat, pihaknya menegaskan pengelolaan masjid ini berada dibawah naungan/kepemilikan Yayasan Hadyur Rasul sesuai dengan akta notaris peralihan waqaf dari Saudara Nurhadi selaku pengurus Yayasan Sheikh Eid Al-Tsani Qatar.
Artinya, masjid ini statusnya sebagai masjid komunitas layaknya milik ormas lainnya yang berada di seluruh Indonesia atau seperti masjid-masjid milik pesantren yang berada di komplek pesantren. Terkait hal tersebut, maka tata cara ibadah yang dipraktekkan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain selama tidak melenceng dari Al-Quran dan Hadits.
Meski pun demikian, kata Edi Saputra, Masjid Jabir selalu terbuka untuk seluruh masyarakat walaupun berbeda mazhab atau organisasi. Hal ini juga terbukti bahwa jamaah di masjid tersebut sangat heterogen dari berbagai kalangan dengan mengedepankan prinsip ukhuwah islamiyah.
Tata cara ibadah dan pengajian yang diselenggarakan di Masjid Jabir Al-Ka’biy, menurutnya masih dalam koridor Alquran dan hadits sesuai Qanun (Perda) Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, yang menegaskan penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan ketentuan syari’ah.
Dalam penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada Mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketentraman dan aturan lainnya dalam qanun tersebut beserta turunannya.
Ia menegaskan, berdasarkan regulasi yang ada seperti UUD 1945 hingga Qanun Aceh, tata cara ibadah dan penyampaian materi kajian di masjid tersebut tidak melanggar aturan serta dilindungi oleh aturan yang ada.
Baca juga: MPU hentikan aktivitas pengajian sebuah masjid di Aceh Barat
"Kami paham kebebasan berpendapat tidak bersifat mutlak, tetap dalam bingkai menghormati hak-hak orang lain termasuk keyakinan dan tata cara beribadah orang lain. Jika memang ada pelanggaran terhadap hal tersebut, ada mekanisme hukum yang berlaku di negeri ini," katanya menambahkan.
Terkait pengajian di masjid, pihaknya mengaku sangat terbuka dan masih dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengajian boleh diikuti oleh siapa pun dan terdokumentasikan dengan baik. Khusus kajian Fiqh menggunakan kitab Matan Abi Syuja’ (karya Imam Abu Syuja’), Al-Fiqh Manhaji (karya Prof. Dr. Mustafa Dib Bugha dkk) serta Al-Mu’tamad fi Fiqh Syafi’ie (karya Prof. Dr. Muhammad Zuhaily).
Pendekatan yang digunakan adalah perbandingan mazhab. Di samping mengajarkan Fiqh Syafi’ie, pihaknya juga menyampaikan beberapa pendapat lain di luar mazhab Syafi’ie sebagai pengetahuan bagi peserta kajian atau jamaah, bahwasanya fiqh itu luas sehingga apabila melihat sesuatu yang berbeda dengan yang didengar pada kajian tidak langsung menyalahkan.
"Intinya kami ingin mengajarkan toleransi dalam fiqh berbasis ilmu atas dasar pengetahuan," katanya.
Pengurus masjid juga tidak memaksa seluruh jamaah dalam tata cara ibadah dengan model ibadah tertentu. Setiap jamaah memiliki kebebasan untuk beribadah sesuai ilmu dan pilihan masing-masing. Walaupun kitab fiqh yang diajarkan adalah kitab mazhab Syafi’ie, akan tetapi pihak masjid tidak memaksa seluruh jamaah mesti beribadah sesuai mazhab Syafi’ie.
"Masyarakat sudah cerdas dan biarkan masyarakat beribadah sesuai ilmu dan pilihan masing-masing. Tidak boleh ada pemaksaan di Masjid Jabir Al-Ka’biy. Bahkan, banyak jamaah yang berbeda pendapat dan pilihan dengan pemateri kajian. Kami akan merawat keberagaman tersebut," kata Edi menambahkan.
Untuk menjawab berbagai isu fitnah yang berkembang di tengah masyarakat, mereka mengajak masyarakat untuk shalat atau hadir di pengajian. Masyarakat dapat melakukan tabayyun (klarifikasi) langsung kepada pengurus dan jamaah masjid.
Ia juga mengakui pengurus masjid juga melakukan berbagai program keagamaan sebagai wujud nyata dukungan terhadap program pemerintah yang menggalakkan penerapan syariat Islam di Aceh Barat, diantaranya seperti rutin melaksanakan shalat berjamaah lima waktu serta pengajian-pengajian baik bagi orang dewasa maupun anak-anak, sebagai bentuk upaya memakmurkan masjid.
Selain itu, ada pula program sosial yang bermanfaat bagi masyarakat sebagai bentuk ukhuwah islamiyah. contohnya seperti layanan kesehatan gratis, bantuan makanan bagi keluarga masyarakat yang meninggal di sekitar masjid, bantuan beras bagi fakir miskin, buka puasa bersama, rehab rumah warga miskin, dan beasiswa bagi warga miskin sekitar masjid.
Terkait dengan isu/tuduhan meresahkan masyarakat, pengurus masjid juga telah melakukan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat sekitar Masjid Jabir Al-Ka’biy dan para tokoh mengapresiasikan keberadaan masjid ini, sebagai sarana ibadah dan tidak meresahkan warga sekitar serta telah melakukan aksi sosial dalam membantu masyarakat.
"Kami mengingkari semua tuduhan yang tidak berdasar yang ditujukan kepada kami," tutupnya.