Deddy Taufik memaparkan kronologi perkara berawal ketika Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare mengajukan proposal dana PSR di Kabupaten Aceh Barat pada 2017. Sedangkan jumlah petani program PSR yang diajukan sebanyak 1.207 orang dengan izin mencapai 2.831 hektare.
“Program PSR diajukan kepada Badan Pengelola Dana Peremajaan Sawit melalui Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Barat. Program dilaksanakan 10 tahapan dalam rentang waktu 2018 hingga 2020 dengan total anggaran Rp75,6 miliar lebih,” kata Deddy Taufik.
Namun, berdasarkan laporan rekomendasi dari Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala menggunakan citra satelit serta pemeriksaan lapangan tim penyidik Kejati Aceh, sebagian izin yang diusulkan menerima program PSR masih dalam kondisi hutan dan tidak pernah ditanami tanaman sawit.
“Padahal, syarat untuk mendapatkan dana program PSR yakni lahan dengan tanaman sawit yang berusia 25 tahun serta produktivitasnya di bawah 10 ton per hektare. Namun, kenyataannya lahan yang tersisa masih kawasan hutan,” kata Deddy Taufik.
Selain hutan, lahan yang diajukan juga masih semak belukar, serta lahan kosong yang belum ditanami. Kemudian, lahan perkebunan sawit dari perusahaan hak guna usaha (HGU) juga diajukan sebagai penerima program PSR.
"Akibat pengelolaan dana PSR yang tidak sesuai persyaratan program peremajaan kelapa sawit mengakibatkan terjadinya potensi kerugian ke negara-negara yang diduga melibatkan kedua tersangka," ujar Deddy Taufik.
Baca juga: Kejati Aceh periksa 150 saksi kasus dugaan korupsi peremajaan sawit