Risiko korupsi
Di samping meminggirkan legislator pendatang baru, tingginya biaya yang diperlukan untuk memperoleh jabatan publik semakin meningkatkan risiko korupsi di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi selama masa kampanye, tetapi juga berlanjut saat politisi menjabat.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa ratusan pejabat negara di berbagai tingkat pemerintahan telah ditangkap atas dugaan korupsi sejak 2004 hingga 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 344 anggota DPR RI dan DPRD, 24 gubernur, serta 159 wali kota/bupati terjerat kasus korupsi, sebagian besar terkait dengan proses politik.
Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy, yang divonis dalam kasus suap pada 2019, secara terbuka menyebut bahwa kebutuhan dana politik sering kali menjadi alasan politisi terjerumus dalam tindakan korupsi.
Biaya yang sangat besar untuk kampanye, termasuk untuk mendapatkan kursi di DPR RI, tidak sebanding dengan gaji resmi dan tunjangan yang diterima jika terpilih. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015, gaji bulanan DPR RI (di luar tunjangan kesehatan dan dana lainnya) yang diterima Ketua mencapai Rp67,7 juta, Wakil Ketua Rp62,4 juta, dan anggota Rp54 juta.
Baca juga: Kronologi Panwaslih Banda Aceh amankan lima orang terduga politik uang
Penyebab tingginya biaya politik
Ada beberapa faktor utama yang mendorong tingginya biaya politik di Indonesia. Pertama, sistem proporsional daftar terbuka yang memungkinkan pemilih memilih langsung kandidat, bukan hanya partai.
Sistem ini membuat persaingan menjadi semakin ketat, baik antarpartai maupun antarcaleg dalam satu partai. Akibatnya, kampanye menjadi lebih individualistis dan mahal.
Kedua, pemilu serentak antara presiden dan legislatif juga memperburuk situasi. Para caleg tidak hanya harus berkampanye untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk calon presiden yang diusung partainya. Hal ini meningkatkan beban finansial secara signifikan, terutama bagi partai yang bukan bagian dari koalisi pemerintah.
Faktor ketiga adalah lemahnya penegakan hukum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga ini dinilai tidak menunjukkan komitmen yang serius untuk menyelidiki perbedaan antara laporan keuangan yang diajukan partai dan pengeluaran aktual.
Terakhir, budaya politik uang yang semakin diterima masyarakat juga berkontribusi terhadap tingginya biaya. Banyak pemilih yang menganggap pemberian uang atau hadiah dari caleg sebagai hal yang wajar dan bahkan menjadi syarat untuk memberikan dukungan.
Rekomendasi
Meningkatnya biaya politik di Indonesia dapat melemahkan demokrasi yang inklusif, transparan, dan partisipatif. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi hukum yang komprehensif, terutama revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Revisi ini perlu mencakup peningkatan bantuan keuangan untuk parpol, meningkatkan transparansi rekrutmen kader partai, mendesentralisasikan pengambilan keputusan dalam mekanisme internal partai, memperkuat kebijakan afirmatif.
Kemudian, mewajibkan partai memberikan bantuan keuangan yang proporsional untuk calon perempuan dan orang muda, menerapkan kebijakan afirmatif di dalam struktur manajemen partai, membekali Bawaslu dengan wewenang yang lebih besar, dan menciptakan saluran partisipasi publik dalam memantau kebutuhan partai.
Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga menjadi prioritas, seperti menurunkan ambang batas parlemen, mengevaluasi sistem perwakilan proporsional terbuka, serta menerapkan sistem zipper pada daftar calon legislatif guna memastikan keseimbangan gender.
Selain itu, perlu juga mengevaluasi penjadwalan pemilihan presiden dan legislatif, mempertegas peran dan tugas saksi di TPS, memperluas cakupan pelaporan dana kampanye, mengintensifkan pengawasan terhadap pelaporan dan kampanye, dan menerapkan batasan tertentu pada belanja kampanye.
Di sisi lain, mekanisme akuntabilitas harus diperkuat. Bawaslu perlu meningkatkan profesionalisme dalam menangani pengaduan masyarakat dan memastikan bahwa partai politik dan kandidat melaporkan belanja kampanye secara tepat waktu.
KPU juga perlu mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi kuota gender dalam daftar calon legislatif, sementara sistem digital seperti SIREKAP harus diperbaiki untuk menjamin akurasi hasil pemilu.
Terakhir, peneliti merekomendasikan pengoptimalan pendidikan kewarganegaraan yang kolaboratif serta dukungan media dan organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk mengintensifkan pemberitaan mengenai kecurangan pemilu dan politik uang guna memberikan tekanan kepada pelaku dan mencegah normalisasi politik uang.
Baca juga: Strategi silaturahmi Kejari Bireuen cegah politik uang di Pilkada 2024