Siapa yang paling diuntungkan?
Tingginya biaya politik dalam Pemilu 2024 semakin menguntungkan petahana. Dengan akses berkelanjutan terhadap sumber daya seperti dana aspirasi hingga program pemerintah, petahana dapat menjaga kedekatan dengan konstituen. Ini menjadi strategi efektif untuk mempertahankan dukungan politik dan peluang terpilih kembali.
Walaupun masa kampanye resmi hanya berlangsung 75 hari, laporan Ella dan Sri mengungkap bahwa petahana memulai "kampanye" sejak dua tahun sebelum kampanye resmi dimulai.
Mereka rutin mengunjungi dapil untuk menyalurkan bantuan dan program pemerintah sehingga pengeluaran saat masa kampanye formal menjadi lebih kecil karena telah bertemu dengan para konstituen selama lima tahun saat menjabat.
Selain itu, partai sering memberikan prioritas kepada petahana dengan nomor urut strategis karena peluang kemenangan mereka lebih tinggi. Data menunjukkan proporsi petahana yang terpilih kembali meningkat dari 25,2% pada 2009 menjadi 56% pada 2024.
Baca juga: Bupati Aceh Barat terpilih minta satgas cabut laporan politik uang, Panwaslih masih bungkam
Tidak hanya petahana, mahalnya biaya politik juga menguntungkan para elite. Hasil Pemilu 2024 menunjukkan adanya hubungan kuat antara kekayaan, koneksi politik, dan elektabilitas di antara calon pemuda yang sukses terpilih.
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 354 dari 580 anggota parlemen terpilih pada 2024 merupakan pelaku usaha, baik sebagai pemilik maupun yang tidak tercatat secara resmi sebagai pemilik. Jumlah petahana dan politisi dari keluarga politik telah meningkat secara signifikan sejak 1999.
Selain itu, laporan ini juga menunjukkan data bahwa lebih dari 59% anggota parlemen perempuan petahana berasal dari dinasti politik yang mencerminkan dominasi elit dalam proses pencalonan.
Klaim ini diakui oleh responden dalam laporan yang menyebutkan bahwa dirinya dapat mencalonkan diri untuk kursi parlemen lokal pada 2019 berkat adanya koneksi dengan bisnis ayahnya.
Ia bahkan bisa mengubah afiliasi politiknya untuk mewakili sebuah partai yang dipimpin oleh kenalan baik orang tuanya. Kombinasi hubungan yang kuat dengan elite politik dan sumber daya keuangan yang besar ini memainkan peran penting untuk membuatnya dicalonkan oleh partai, meskipun ia bukan kader partai.
“Hal ini menjadi contoh yang mencerminkan mengapa partai lebih condong mencalonkan kandidat yang berasal dari keluarga berada atau kaya,” sebut Ella dan Sri dalam laporan ini.
Fenomena politik dinasti ini telah memperkuat dominasi elit dan membatasi peluang politisi dari kalangan kurang mampu. Secara global, keluarga elite politik memiliki keuntungan signifikan ketika memasuki dunia politik.
Keuntungan tersebut mencakup kemudahan sosialisasi politik, pengalaman dalam menyusun strategi, serta akses ke jaringan, organisasi, dan sumber daya politik yang telah mapan. Anggota keluarga politik juga kerap memanfaatkan citra keluarga, kepercayaan pemilih, perhatian media, dan jaringan.
Berdasarkan data Pemilu 2024, setidaknya 220 anggota DPR RI memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik. Prevalensi politik dinasti lebih tinggi di kalangan politisi muda, di mana 85 dari 137 anggota DPR RI dan DPD RI berusia di bawah 40 tahun tergolong dalam dinasti politik.
Jumlahnya lebih tinggi pada kelompok usia 30 tahun atau lebih muda, sebanyak 33 dari 43 anggota diketahui memiliki hubungan kekerabatan politik.
Dominasi tersebut tidaklah mengherankan, sebab legislator yang berafiliasi politik dinasti mudah mendapatkan keuntungan secara elektoral. Pada Pemilu 2024, anggota DPR RI terpilih yang berasal dari dinasti politik rata-rata memperoleh 240.675 suara atau 30% lebih banyak dibandingkan politisi muda tanpa hubungan kekerabatan.
Fakta ini mencerminkan semakin menyempitnya ruang bagi calon legislatif yang tidak memiliki pengaruh politik untuk bersaing merebut kursi parlemen, terutama perempuan dan orang muda yang tidak memiliki banyak relasi dan masih kekurangan finansial meskipun memiliki kemampuan mumpuni dan banyak pengalaman.
Halaman selanjutnya: adakah risikonya?