Jakarta (ANTARA) - Delima Silalahi (47) masih mengingat jelas peristiwa kerusakan hutan pada tiga dekade silam yang terjadi di kampungnya Tapanuli Utara dan juga kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara. Hutan tropis yang rusak akibat kehadiran industri telah menimbulkan masalah lingkungan, sosial, hingga ekonomi bagi penduduk lokal.

Dia semakin termotivasi mengorganisir penduduk lokal untuk mengklaim hutan adat secara legal.
Pada Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar untuk mendesak pengakuan terhadap hutan adat milik masyarakat.
Berselang tujuh bulan kemudian, tepatnya pada Februari 2022, pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat adat (termasuk 6.333 hektare lahan yang diklaim kembali dari Toba Pulp Lestari dan 884 hektare dari kawasan hutan negara).
Saat ini, enam kelompok masyarakat adat itu perlahan mulai menanami lahan dengan spesies pohon asli, termasuk kemenyan. Kegiatan reboisasi itu bertujuan untuk meningkatkan tutupan pohon dan ketahanan iklim alami karena mereka meyakini kemenyan hanya bisa tumbuh dan bergetah bila pohonnya dilindungi oleh tanaman-tanaman pelindung lainnya yang berjumlah belasan batang.Melalui kemenyan itulah upaya pemulihan tradisi dan budaya masyarakat adat agar bisa kembali meramu hutan.
Terdapat pembagian peran yang jelas antara perempuan dan laki-laki dalam komunitas masyarakat adat yang sudah tertata sejak dulu.
Laki-laki ranah pekerjaan mereka di hutan, salah satunya mengumpulkan getah kemenyan. Sedangkan, perempuan bekerja di desa untuk mengelola ladang, sawah, ternak, dan rumah tangga.
Namun, sejak pohon-pohon kemenyan yang tumbuh di hutan tropis hancur, laki-laki kehilangan ruang hidup, pekerjaan, dan profesi. Kondisi itu mengganggu harmoni antara keluarga dan kualitas hidup mereka, sehingga banyak laki-laki yang takut pulang ke rumah karena mereka tak punya pekerjaan lagi.
Keberhasilan Delima bersama kelompok masyarakat adat dalam mendapatkan hak pengelolaan 7.213 hektare hutan secara sah menjadi kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak masyarakat adat.Penghargaan internasional
Kegigihan Delima dalam mengadvokasi dan memperjuangkan hak masyarakat adat di Tanah Batak membuatnya meraih penghargaan dari The Goldman Environmental Prize.
Anugerah Goldman yang dimulai sejak tahun 1989, merupakan penghargaan bergengsi kepada para aktivis lingkungan di tingkat akar rumput.
Para pemenang anugerah dipilih oleh juri internasional dari beberapa nominasi yang diajukan secara rahasia oleh jaringan internasional yang terdiri atas organisasi dan individu yang bergerak di bidang lingkungan.
Anugerah Goldman dirayakan dalam seremoni langsung yang diselenggarakan di Opera House, San Fransico, Amerika Serikat, pada 24 April 2023, pukul 05.30 PM EDT atau 25 April 2023, pukul 07.30 WIB.
Kemudian, seremoni kedua akan digelar di Eisenhower Theater yang berlokasi di John F. Kennedy Center for the Performing Art, Washington DC, Amerika Serikat, pada 26 April 2023, pukul 07.00 PM EDT.Delima mengatakan penghargaan itu menjadi sebuah apresiasi yang luar biasa dari dunia internasional yang menghargai kerja-kerja di tingkat tapak masyarakat adat.
Dia sangat menyadari bahwa ini bukanlah penghargaan untuk dirinya secara pribadi. Ini adalah penghargaan untuk gerakan masyarakat adat di Tanah Batak dan Indonesia secara umum.
Sebagai aktivis lingkungan yang telah berjuang selama 24 tahun, dia mengaku tidak pernah ada dalam bayangan untuk menjadi pahlawan atau untuk mendapatkan penghargaan. Prinsip small is beauty dari KSPPM selalu tertanam di dalam benaknya.
Delima berpesan kepada para aktivis lingkungan untuk selalu semangat dalam berjuang meski berbagai intimidasi acapkali muncul. Kegiatan advokasi dan kampanye terkait perlindungan hutan bukan perjuangan yang melawan hukum, sehingga tidak perlu takut dengan ancaman-ancaman yang datang.
Dia berharap semakin banyak orang terlibat dalam gerakan lingkungan dan gerakan masyarakat adat di Indonesia dan juga negara-negara di seluruh dunia.
Apalagi kini umat manusia menghadapi besarnya tantangan perubahan iklim membuat aktivitas melindungi hutan menjadi sangat penting bagi planet bumi.
Kegiatan merawat, mengelola, dan memperjuangkan keberadaan hutan merupakan salah satu cara untuk memitigasi perubahan iklim yang kini dampaknya semakin nyata, mulai dari pemanasan global, kemunculan berbagai penyakit, hingga cuaca ekstrem.
Salam lestari!