Mencermati wacana revisi Qanun LKS, peluang kembalinya bank konvensional ke Aceh
Oleh Rahmat Fajri Rabu, 31 Mei 2023 21:47 WIB
Dukungan revisi juga datang dari pelaku UMKM di bawah Asosiasi Saudagar Industri Aceh (ASIA). Wakil Ketua ASIA Maimun M Nur menegaskan sudah sangat lama menginginkan adanya kembali bank konvensional di Aceh untuk kemudahan transaksi.
"Sudah dari dulu saya sampaikan bahwa di Aceh harus ada bank syariah dan juga konvensional di Aceh," kata Maimun.
Bank konvensional juga dibutuhkan karena selama ini pihaknya sering melakukan transaksi dengan luar daerah, terutama Ibu Kota Jakarta, dan rata-rata semuanya menggunakan bank konvensional.
Karena itu, dirinya mendukung wacana terkait revisi Qanun LKS yang telah diusulkan oleh Pemerintah Aceh kepada DPR Aceh untuk kemudian dapat dibahas kembali.
Dukungan ASIA sendiri karena mereka ingin kemudahan transaksi dalam dunia usaha yang digeluti saat ini. Maka hadirnya bank konvensional kembali ke Aceh menjadi sebuah harapan baru bagi mereka.
Menolak
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Faisal Ali menyatakan bahwa Qanun LKS belum perlu direvisi karena baru 2 tahun diterapkan, perlu waktu hingga beberapa tahun lagi untuk meninjau kembali.
"Jika nanti ada kekurangan, baru dilakukan revisi. Jangan karena ada kesalahan satu bank timbul wacana merevisi. Padahal, di Aceh masih ada perbankan syariah lainnya," kata Faisal Ali.
Faisal mengatakan gangguan transaksi perbankan di BSI hanyalah bagian terkecil dan tidak hanya di Aceh, tetapi juga terjadi secara nasional. Gangguan tidak lantas membuat Qanun LKS direvisi dengan mewacanakan kehadiran perbankan konvensional.
Baca juga: MPU nilai Qanun lembaga keuangan syariah belum perlu direvisi hanya karena BSI down
MPU Aceh tidak sependapat dengan wacana merevisi Qanun LKS. Biarkan qanun tersebut berjalan. Nanti, apabila ada hambatan atau hal lainnya, baru dievaluasi.
MPU Aceh memiliki kewenangan memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Apabila revisi Qanun LKS dilakukan, maka MPU akan menggunakan kewenangan memberikan pandangan kepada pemerintah.
"Kita semua sudah sepakat melaksanakan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh, termasuk melakukan transaksi perbankan dalam bingkai syariah Islam," kata Faisal.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Aceh M Fadhil Rahmi menilai pemikiran Pemerintah Aceh untuk mengembalikan bank konvensional ke Aceh melalui revisi Qanun LKS merupakan hal yang keliru.
Kata dia, Qanun LKS adalah turunan UUPA yang merupakan kekhususan dan keistimewaan Aceh, terutama pada Pasal 125, 126, dan 127.
Qanun LKS adalah tingkatan kedua dalam penyempurnaan syariat Islam di Aceh setelah busana, yaitu bidang muamalah.
“Rencana Pemerintah Aceh mengembalikan bank konvensional berarti mengebiri Qanun LKS yang secara otomatis juga tidak mengindahkan kewenangan Aceh dalam UUPA," kata Fadhil Rahmi.
Harusnya, kata Fadhil, Pemerintah Aceh lebih melihat masalah yang terjadi. Bukan merevisi Qanun LKS untuk mengundang bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Menurut Fadhil, wacana DPR Aceh merevisi Qanun LKS karena error di jaringan ATM dan m-banking BSI pada awal Mei 2023 juga terkesan mengada-ada.
"Mestinya, yang harus dipikirkan adalah bagaimana memperkuat Qanun LKS itu sendiri. Misalnya, dengan mewajibkan bank yang beroperasi membuka cabang di seluruh kabupaten/kota, tentu dengan kemudahan yang diberikan," kata Fadhil Rahmi.
Upayakan solusi terbaik
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (Banleg DPRA) Mawardi menegaskan bahwa pihaknya bersama Pemerintah Aceh masih mencari solusi terbaik terhadap pro kontra Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Aceh.
"Kami dengan pemerintah akan selalu berkomunikasi, mencari sebuah solusi (soal penerapan Qanun LKS)," kata Mawardi.
Menurut Mawardi, kontroversi masalah lembaga keuangan syariah tersebut telah melahirkan banyak diskusi sehingga menimbulkan banyak pemikiran baru yang kemudian dapat dipelajari secara baik.
DPR Aceh, kata Mawardi, tidak dalam konteks ingin merevisi, melainkan lebih kepada pengkajian mendalam. Karena proses ini jangan dilakukan secara tergesa gesa. Apalagi semua poin yang tertuang dalam qanun belum sepenuhnya telah direalisasikan.
"DPRA melihat pro kontra ini sebagai upaya mencari sebuah solusi terbaik, karena itu masih perlu dilakukan kajian mendalam dengan melibatkan para pakar, dan seluruh stakeholder di Aceh," ujarnya.
Pro kontra terhadap revisi Qanun LKS, lanjut Mawardi, tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan tersebut dapat direvisi sebagaimana komitmen lembaga dapat merubah sebuah produk hukum sesuai mekanisme berlaku.
"Tentu DPRA harus mendapatkan hasil kajian, apa urgensi dari revisi. Kalau memang direvisi, ini harus memperkuat agar bisa menjawab berbagai persoalan. Ekonomi harus tetap maju dan syariat Islam harus dilaksanakan," ujar Mawardi.
Terkait rencana perubahan peraturan daerah tersebut, saat ini DPR Aceh masih sebatas melakukan kajian bersama tenaga ahli di parlemen, masih terus mengkaji pandangan terbaik dari sejumlah pemangku kepentingan di Aceh.
Editor: Achmad Zaenal M