Pembimas Budha, Ketut Panji Budiawan menegaskan bahwa politik merupakan hak privasi masing-masing umat. Tetapi secara umum dalam konteks sosial dan demokrasi sejauh ini sudah berjalan baik di Aceh.
Terkait kepemimpinan partai lokal di pemerintahan, mereka cukup mendapatkan kenyamanan dalam beribadah. Bahkan ketika hari besar mereka, aparat dan lingkungan sekitar ikut membantu seperti keamanan.
"Sehingga sampai saat ini kami beribadah merasa nyaman. Kita tidak terganggu selama ini dan cukup nyaman di Aceh," ujarnya.
Sahnan Ginting, Pembimas Hindu Kanwil Kemenag Aceh juga mengutarakan hal yang sama, meski umat mereka paling sedikit di Aceh. Tetapi tidak merasakan adanya perbedaan.
Walaupun dalam kampanye partai politik lokal tidak pernah didengar adanya program secara khusus terhadap mereka. Ketika memimpin, semuanya juga berjalan baik.
"Ada dukungan moril yang diberikan selama ini meski tidak disebutkan dalam kampanye mereka," katanya.
Selain itu, Pembimas Kristen, Samarel Telaumbanua mengaku belum mendapatkan laporan adanya umat mereka yang bergabung ke partai politik lokal, dan tidak juga adanya kabar terkait pembatasan ke sana. Sedangkan di partai politik nasional cukup banyak yang bergabung, hingga menjadi anggota legislatif.
"Paling banyak itu di daerah Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, itu juga sudah duduk di bangku DPRK, dan masih sampai sekarang," katanya.
Baca juga: KIP: Hindari polarisasi informasi di Aceh pada Pemilu 2024
Terkait dengan pemerintahan di bawah partai lokal, Samarel mengaku sangat tersentuh. Bahkan, ia tidak merasakan perbedaan siapa yang duduk di kursi DPR Aceh. Artinya, ada kesamaan baik itu dipimpin oleh partai lokal maupun nasional.
"Jadi boleh saya katakan bahwa selama partai lokal sudah mayoritas di DPR kabupaten maupun provinsi, semua berjalan baik sampai sekarang. Intinya tidak ada perbedaan," ujar Samarel.
Terpisah, Pembimas Katolik, Baron Ferryson Pandiangan ternyata memberikan pernyataan yang sama, umatnya di Aceh memang tidak masif bergabung dalam partai politik, melainkan hanya berada di luar struktur kepartaian saja.
Sejauh ini dirinya belum menerima laporan adanya warga Katolik yang bergabung dalam partai politik lokal. Kecuali partai nasional, yakni di daerah Sabang ada yang menjadi calon legislatif dari PDIP, dan dua untuk DPRK Aceh Tenggara.
Meski tidak bergabung dalam kepengurusan partai, umatnya banyak dekat dengan personal tokoh dari partai politik lokal Aceh. Contohnya dengan politisi PNA Darwati A Gani yang juga istri pendiri partai Irwandi Yusuf, dan lainnya.
"Kalau ada yang diajak masuk (partai lokal) saya belum diterima laporan. Tetapi, kalau secara pribadi kader partai lokal sudah banyak yang berbaur (dengan umat Katolik)," kata Baron.
Dari pernyataan para tokoh agama itu dapat digarisbawahi, menjadi minoritas di daerah syariat Islam tidak membuat nonmuslim merasa dibedakan oleh partai politik lokal dalam setiap pesta demokrasi, hingga saat mereka menjadi pemenang kontestasi baik legislatif maupun eksekutif.
Tak berlaku SARA
"Jumlah penduduk Aceh hingga data terakhir 2022 mencapai 5,4 juta jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 75.427 orang nonmuslim yakni Kristen 62.758 jiwa. Katolik 5.704, Hindu 95, dan Budha 6.870 orang. Selebihnya beragama Islam," data Kanwil Kemenag Aceh.
Kini, Pemilu 2024 baik pemilihan legislatif maupun Pilkada sudah di depan mata, semua partai politik lokal telah memiliki kepengurusan baru, gaya, isu kampanye dan audien yang baru.
Pertanyaannya, apakah partai-partai lokal itu mengesampingkan minoritas (nonmuslim) di Aceh atau lebih terbuka. Mengingat, Aceh merupakan daerah dengan penerapan syariat Islam.
Meski berstatus lokal di Aceh, partai politik yang dilahirkan dari perjanjian damai itu telah memantapkan diri berfikir secara nusantara, dalam konsep nasionalis-Aceh.
Artinya, dalam kiprahnya tidak membedakan suku, agama, Ras dan antargolongan (SARA). Semuanya berlaku sama dalam dunia perpolitikan mereka. Yaitu, sama-sama penduduk tanah rencong.
Baca juga: USK bekali hak dan kewajiban mahasiswa penerima KIP