Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri menegaskan bahwa Partai Aceh berfikir secara nasionalis-Aceh. Maka, tidak ada kecenderungan menggunakan label identitas tertentu.
"Karena berbicara Aceh, jadi semua penduduk Aceh. Kita tidak memandang suku, agama, latar belakang. Tetapi warga Aceh yang ber KTP Aceh," kata Nurzahri, Minggu (10/12/2023).
Semua itu, sudah tercermin dalam berbagai program-program partai. Mereka tidak pernah mengkampanyekan isu-isu yang bersifat sektoral, melainkan secara menyeluruh.
Dirinya mencontohkan, program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang diluncurkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf periode pertama (2007-2012). Saat itu, ahli propaganda GAM tersebut masih sebagai kader Partai Aceh.
Didukung parlemen Aceh (DPRA) kala itu juga dikuasai Partai Aceh yakni 48 persen. Program dilahirkan dalam periode tersebut tidak memilah kelompok masyarakat. Melainkan berlaku sama untuk semuanya.
"Kita tidak membatasi agama hingga suku, asal dia punya KTP Aceh, boleh menikmati JKA tersebut," ujarnya.
Program lainnya, yakni Peu Makmu Gampong, melalui inisiatif itu pemerintah yang dipimpin Partai Aceh mengalokasikan bantuan keuangan setiap desa mencapai Rp100 juta, juga tidak melihat perbedaan.
Seperti di Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, di sana terdapat beberapa desa yang mayoritas penduduknya nonmuslim. Tetapi mereka juga mendapatkan hak yang sama dengan desa dominan muslim.
Apa yang sudah dilaksanakan ini akan terus terus dipertahankan sampai nanti jika Partai Aceh kembali diberikan kemenangan pada Pemilu 2024.
"Pola ini dari awal kita tekankan bahwa Partai Aceh adalah partai milik semua warga Aceh," tegasnya.
Selain itu, Nurzahri menjelaskan pemaknaan kelompok minoritas dalam konsep demokrasi. Dimana, ketika yang sedikit bergabung dalam suara mayoritas, maka otomatis ia menjadi bagian dari itu.
Namun, jika kelompok minoritas tetap menyandarkan diri kepada prinsip minoritas dalam demokrasi, maka akan terus kalah.
"Maka, ini perlu edukasi teman-teman yang merasa diri minoritas. Pilihan demokrasi nya bergabung supaya menjadi mayoritas. Tentunya, hak-hak mereka tetap diperjuangkan," katanya.
Maksud pernyataan itu, untuk menegaskan bahwa Partai Aceh sampai hari ini masih memberikan ruang kepada kelompok minoritas baik nonmuslim maupun difabel untuk bersama-sama.
Secara histori, dalam proses pesta demokrasi pertama Partai Aceh (pileg 2009), ada calon legislatif DPRK di Aceh Tenggara dari nonmuslim yang memakai kendaraan Partai Aceh. Menjadi bukti bahwa partai ini cukup terbuka.
Baca juga: KIP: 80.230 petugas KPPS direkrut untuk Pemilu di Aceh
Pada Pemilu 2024, diakui Nurzahri memang tidak ada lagi caleg nonmuslim dari Partai Aceh. Tetapi itu bukan karena mereka tertutup, melainkan tidak ada yang mendaftar. Termasuk untuk menjadi pengurus partai.
Kesempatan itu terus dibuka. Posisi mereka tetap sama dengan yang lainnya. Poin yang dilihat partai adalah bagaimana tingkat elektabilitas seseorang dalam mendongkrak suara partai.
"Jika yang minoritas memiliki elektabilitas lebih baik, dan peluang dipilih ada, tetap dipersilahkan untuk maju," ucapnya.
"Untuk pengurus partai sekarang juga tidak ada, karena memang tidak ada yang mendaftar, padahal kita sudah membuka kesempatan yang cukup luas," sambung mantan anggota DPRA itu.
Meski tidak ada pengurus. Tetapi Partai Aceh memiliki kader dari kalangan nonmuslim. Semisal di Peunayong Kota Banda Aceh. Di sana, ada komunitas dari etnis Tionghoa yang menjadi kader simpatisan Partai Aceh, begitu juga Kota Langsa dan Aceh Tamiang.
"Tapi mereka tidak mau masuk pengurus, hanya sebagai anggota biasa yang mengantongi kartu keanggotaan partai. Kader simpatisan namanya," ucap Nurzahri.
Cukup Ber-KTP Aceh
Partai Nanggroe Aceh (PNA) juga tidak berbeda dengan Partai Aceh. Partai politik yang lahir dari rahim yang sama (MoU Helsinki) ini juga menegaskan tak melihat perbedaan mayoritas dan minoritas. Semuanya berlaku sama asalkan yaitu ber KTP Aceh.
Sekjen DPP PNA, Miswar Fuadi menegaskan bahwa partainya tidak melihat perbedaan dalam proses demokrasi atau ketika memimpin pemerintahan. Semua diberlakukan adil dengan catatan beridentitas Aceh.
Ia mencontohkan, ketika pemimpin partainya menjadi Gubernur Aceh, semua program yang dicanangkan berlaku sama terhadap penduduk Aceh.
Seperti, program beasiswa, bantuan terhadap anak yatim, hingga program pemberian rumah dhuafa yang layak huni bagi masyarakat kurang mampu. Diberikan asal sesuai dengan ketentuan.
"Jadi kita tidak melihat perbedaan dari suku maupun agama. Tetapi yang penting adalah penduduk ber KTP Aceh. Maka semuanya sama, tidak ada perbedaan," ujarnya.
Kemudian, lanjut Miswar, terkait kepartaian, dalam organisasi mereka juga tidak memisahkan seseorang antara yang mayoritas dengan minoritas. PNA merangkul semua tanpa melihat perbedaan.
"Tidak ada perbedaan, saat kampanye juga tidak melihat perbedaan, semuanya sama yaitu masyarakat Aceh," ujarnya.
Putra asal Abdya itu menyebutkan, terbukanya partai PNA terhadap seluruh masyarakat Aceh dapat dibuktikan dalam pemilihan legislatif ini.
Di mana, saat ini ada salah seorang warga nonmuslim yang maju sebagai calon anggota DPRK Aceh Singkil melalui kendaraan PNA pada 2024 mendatang. Dan yang bersangkutan juga merupakan pengurus PNA daerah setempat.
"Kalau untuk struktur pengurus di provinsi saat ini memang tidak ada (nonmuslim). Tetapi di daerah ada, dan kesempatannya selalu terbuka. Itu lah kenapa partai kita ini bernama nasional (sekarang diganti nanggroe) diawal pembentukannya," tutup Miswar.
Toleransi Qanun
Dalam konteks pemilihan legislatif maupun Pilkada, Aceh memiliki ketentuan khusus terhadap persyaratan yang harus dipenuhi seorang Caleg, Bupati/Walikota hingga calon Gubernur Aceh.
Yaitu tes uji kemampuan membaca Al-Qur'an. Ketentuan tersebut tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR Aceh dan DPR kabupaten/kota.
Kemudian untuk calon eksekutif diatur dalam Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 Pilkada Bupati/Wali Kota dan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh. Namun, tes uji mampu baca Al-Qur'an tersebut hanya bagi kandidat beragama Islam. Terhadap calon dari nonmuslim ujian itu dibebaskan.
Ketua KIP Aceh, Saiful, qanun Aceh telah memberikan hak-hak setiap warga negara. Terhadap tes baca Al-Qur'an bagi nonmuslim dibebaskan, secara otomatis mereka langsung menuju ke tahapan selanjutnya.
"Untuk yang beragama selain Islam kita tidak lakukan tes baca Al-Qur'an. Kemudian bagi Mualaf kita permudah karena belum memahami penuh, sehingga hanya diminta mengucapkan bismillah atau membaca alfatihah saja," kata Saiful.
Maka dari itu, banyak calon legislatif nonmuslim hari ini di Aceh, terutama untuk DPR kabupaten/kota. Semua ini karena ketentuan berlaku telah meringankan mereka pada salah satu tahapan persyaratan.
Saiful menuturkan, untuk Pemilu 2024 banyak kandidat calon legislatif dari nonmuslim, terutama di dua wilayah perbatasan Aceh-Sumut yakni Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Mereka rata-rata maju melalui partai politik nasional, dan juga ada dari partai lokal.
Di Aceh Tenggara, caleg nonmuslim di sana tertinggi di Aceh untuk DPRK, yakni mencapai 33 orang, dan semuanya dari partai politik nasional, sedangkan mewakili parlok kosong pada 2024 ini.
Kemudian, di Aceh Singkil, kandidat dari nonmuslim untuk DPRK Aceh Singkil itu mencapai 19 orang, yakni 18 orang melalui partai politik nasional dan satu caleg dari partai politik lokal (PNA).
"Jadi yang tertinggi itu untuk DPRK Aceh Tenggara, lalu Aceh Singkil, dan juga ada di Kota Langsa satu orang," ujarnya.
Baca juga: Kejati gandeng KIP Aceh tangani pelanggaran Pemilu 2024
Terkait ruang kampanye, lanjut Saiful, dalam qanun Aceh juga tidak mengatur adanya pembatasan bagi masyarakat tertentu. Semuanya berlaku sama dalam pesta demokrasi.
Dalam kesempatan ini, dirinya menegaskan bahwa toleransi itu sangat penting. Meski terkadang partai politik lokal tidak menyampaikan dalam kampanye visi-misi mereka. Tetapi pada implementasinya keberagaman itu selalu dijaga baik.
"Masyarakat hidup dalam kerukunan, dan itu harus ada dukungan politik. Apalagi secara peraturan perundang-undangan tidak ada perlakuan khusus terhadap satu pihak baik mayoritas maupun minoritas, semuanya sama," tuturnya.
Disimpulkan Saiful, bahwa label minoritas bukan penghalang bagi masyarakat nonmuslim untuk bergabung dalam partai politik lokal di Aceh, karena demokrasi di negeri syariat berjalan terbuka terhadap siapa saja. Termasuk dari sisi regulasi.
Dalam politik pemerintahan juga demikian, tidak ada pembatasan bagi orang kelompok-kelompok tertentu. Keadilan program berlaku sama hanya dengan satu catatan istimewa, yaitu beridentitas Aceh.
Baca juga: Kasus dugaan ujaran kebencian oleh Aiman naik ke penyidikan, begini penjelasannya